Awalnya penulis sempat bingung ketika mendapat giliran mengisi rubrik 'profil'. Berbagai tokoh yang menurut penulis layak tampil pun mulai penulis cari dari buku, majalah hingga internet. Sebetulnya, penulis memang lebih tertarik untuk mengamati dan mencari sejumlah tokoh yang bergelut dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia saat ini. Akhirnya, walau agak sedikit ragu penulis tertarik untuk membidik bagian dari kisah hidup seorang tokoh muda yang cukup kontroversial dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia. Anda pasti tahu tokoh ini! Siapa lagi kalau bukan 'Mas Ulil'.
Siapa yang tak kenal dengan pria berkacamata ini? Wawasan dan pandangannya yang dikenal luas dan liberal tentang Islam dan isu-isu kontemporer membuat ia semakin mewarnai blantika pemikiran Islam tanah air. Bahkan pandangannya yang bebas dan terbuka tentang Islam Liberal seakan membuat corak baru di tengah jargon kebebebasan berfikir di era reformasi.
Perjalanan Hidup
Nama lengkapnya adalah Ulil Abshar Abdalla. Lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967. Pria yang dikenal kritis ini berasal dari keluarga Nahdhatul Ulama (NU) secara kultural. Ayahnya seorang kyai NU, Abdullah Rifa'i, dari Pesantren Mansajul Ulum, Pati. Darah NU nya semakin mengental ketika ia meminang anak dari seorang kyai NU dan budayawan muslim, KH. Mustofa Bisri yang mengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang.
Pria berambut ikal ini menyelesaikan pendidikan menengahnya di MA. Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz. Setelahnya, ia mulai getol untuk mencari wawasan agama Islam di Pesantren. Di masa remajanya, ia nyantri di Pesantren Mansajul 'Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Lalu, dilanjutkan studinya di Fakultas Syariah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta. Dan mendapatkan gelar sarjana Lc. dari universitas tersebut. Saking tertariknya Ulil pada filsafat, iapun sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkarya Jakarta. Sekarang, Ulil melanjutkan studinya pada jurusan Perbandingan Agama di Boston University, AS. melalui beasiswa fullbright yang diraihnya. Jika semua berjalan lancar, 5 tahun lagi Ulil pulang menggondol gelar Phd.
Dalam perjalanan akademisnya, pria yang hobi mengenakan kemeja ini dikenal cerdas dan bersikap kritis serta tidak segan dalam menyampaikan gagasannya. Menurut salah seorang kyai NU, jiwa leadershipnya sudah terlihat sejak kecil. Hal ini terbukti dengan terpilihnya Ulil sebagai ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU Jakarta, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), juga menjadi staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta, dan menjadi Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Ia pun tercatat sebagai Penasehat Ahli Harian Duta Masyarakat.
Menuai Kontroversi
Bagi kalangan ulama dan akademisi, tentunya Ulil Abshar bukanlah sebuah nama asing lagi. Ia dikenal sebagai seorang pluralis paling gigih dalam menyampaikan ide Islam Liberal. Berbagai pandangan dan gagasan yang tertuang dalam tulisannya banyak dimuat di berbagai media cetak maupun media elektonik. Kerap kali ia mengisi seminar dan debat terbuka di universitas-universitas. Kelompok diskusi JIL yang di koordinatorinya pun banyak bersuara tentang Liberalisasi Tafsir Islam.
Saat ini Ulil memang banyak menuai simpati plus kritik dari berbagai kalangan. Bagi yang sejalan dengan pemikiran Ulil atas kiprahnya yang getol mengusung gagasan pemikiran Islam Liberal itu dianggap sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam melebihi Nurchalish Madjid. Namun sebaliknya, bagi yang kontra dan menentang gagasan-gagasan Ulil tentang Islam Liberal dan pluralisme agama dianggap sebagai 'orang sesat dan menyesatkan'. Sehingga pantas tulisan-tulisannya di berbagai media massa menuai kontroversi yang cukup menarik. Menurut pengamatan penulis, gagasan pemikiran Ulil banyak diilhami oleh cendekiawan Muslim lain seperti Cak Nur, Ibn Araby, Mohammed Arkoun dan lain sebagainya.
Ulil Di mata Ulama
Kontroversi Ulil dengan gagasan Islam Liberalnya membuat kesan dan penilaian tersendiri di mata cendekiawan dan ulama muslim di Indonesia. Gus Dur misalnya, mengaku simpatik dan takjub terhadap pemikiran-pemikiran Ulil. Dalam sebuah peluncuran buku karya Ulil yang berjudul 'Menjadi Muslim Liberal' di Auditorium utama Universitas Paramadina, dalam sambutannya, Gus Dur mengatakan, "Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam." Akibatnya pun dapat diduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan. Gus Dur juga mengapresiasi pemikiran-pemikiran Ulil. Menurutnya, pemikiran dan liberalisme Ulil, tak ada yang perlu dikhawatirkan.” Gus Dur hanya melihat Ulil risau dengan hilangnya iklim kebebasan berpikir di dunia Islam dan ia mengiaskan pengalaman Ulil dengan apa yang dialami Ibnu Rusyd. Dalam situs gusdurnet.com, Gus Dur pun mengatakan kalau Ulil berbeda dengan orang-orang pesantren lainnya karena ia menjalani profesi bukan pada lingkungan pesantren. Ia juga berani mengemukakan paham Liberalisme Islam yang dinilai sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan 'kemerdekaan berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya', sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap hal ini. Selain Gus Dur, banyak juga yang mendukung gagasan pemikiran Ulil, diantaranya Jalaludin Rahmat, Azyumardi Azra, Goenawan Muhammad dan Lutfi Assyaukani.
Lain halnya Ulil di mata kalangan ulama dan cendekiawan lain. Hartono Ahmad Jaiz misalnya, penulis yang giat meneliti tentang aneka pemahaman Islam di Indonesia ini menyatakan kalau paham Liberalisme dan Pluralisme agama yang diusung Ulil dianggap sebagai paham yang tidak punya dalil atau landasan yang benar dan tidak memiliki paradigma ilmiah serta rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan. Paham tersebut juga dianggap sebagai paham penyembah rasio. Tidak sedikit Cendekiawan dan Ulama yang menentang gagasan Liberalisme Islam Ulil, diantaranya Adian Husaini, FPI, MUI, MMI, FUI dan masih banyak lagi. Hal ini terbukti ketika 31 ormas menggelar tabligh akbar di Masjid Al Azhar Jaksel untuk mendukung sebelas fatwa MUI pada bulan Agustus 2005. Diantara fatwa tersebut menjelaskan tentang terlarangnya penyebaran Ahmadiyah di Indonesia serta memberi label 'haram' terhadap paham Liberalisme dan Sekularisme. Dalam tabligh akbar tersebut hadir lebih dari 700 jamaah wakil berbagai ormas Islam pendukung fatwa MUI.
Bahkan setelah acara tersebut usai, Massa dari Front Pembela Islam (FPI) berencana langsung menuju markas JIL di Jl. Utan Kayu no. 68H, Matraman, Jakarta Timur untuk melakukan demonstrasi. Namun demonstrasi itu urung dilakukan menyusul keputusan rapat beberapa wakil ormas Islam di masjid Al Azhar. Bahkan sebulan setelah itu, rombongan warga yang mengatasnamakan Forum Umat Islam (FUI) mendesak Camat Matraman untuk menutup Kantor JIL di Utan Kayu. Menurut mereka, keberadaan JIL dan Komunitas Utan Kayu meresahkan masyarakat. Dalam aksi unjuk rasa itu menampilkan spanduk-spanduk bertuliskan "JIL Haram, Darah Ulil Halal".
Demikianlah kutipan singkat perjalanan Ulil Abshar Abdalla, penulis buku Menjadi Islam Liberal. Dalam profil ini, penulis sama sekali tidak bermaksud mengkampanyekan pemikiran Ulil yang kontroversial. Justru sebaliknya, gagasan pemikiran Mas Ulil cukup bertentangan dengan ideologi penulis. Namun penulis hanya berharap kepada pembaca untuk dapat mengambil nilai universal yang positif dari pribadi seorang Ulil Abshar Abdalla. (Dikutip dari berbagai sumber)
Siapa yang tak kenal dengan pria berkacamata ini? Wawasan dan pandangannya yang dikenal luas dan liberal tentang Islam dan isu-isu kontemporer membuat ia semakin mewarnai blantika pemikiran Islam tanah air. Bahkan pandangannya yang bebas dan terbuka tentang Islam Liberal seakan membuat corak baru di tengah jargon kebebebasan berfikir di era reformasi.
Perjalanan Hidup
Nama lengkapnya adalah Ulil Abshar Abdalla. Lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967. Pria yang dikenal kritis ini berasal dari keluarga Nahdhatul Ulama (NU) secara kultural. Ayahnya seorang kyai NU, Abdullah Rifa'i, dari Pesantren Mansajul Ulum, Pati. Darah NU nya semakin mengental ketika ia meminang anak dari seorang kyai NU dan budayawan muslim, KH. Mustofa Bisri yang mengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang.
Pria berambut ikal ini menyelesaikan pendidikan menengahnya di MA. Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz. Setelahnya, ia mulai getol untuk mencari wawasan agama Islam di Pesantren. Di masa remajanya, ia nyantri di Pesantren Mansajul 'Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Lalu, dilanjutkan studinya di Fakultas Syariah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta. Dan mendapatkan gelar sarjana Lc. dari universitas tersebut. Saking tertariknya Ulil pada filsafat, iapun sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkarya Jakarta. Sekarang, Ulil melanjutkan studinya pada jurusan Perbandingan Agama di Boston University, AS. melalui beasiswa fullbright yang diraihnya. Jika semua berjalan lancar, 5 tahun lagi Ulil pulang menggondol gelar Phd.
Dalam perjalanan akademisnya, pria yang hobi mengenakan kemeja ini dikenal cerdas dan bersikap kritis serta tidak segan dalam menyampaikan gagasannya. Menurut salah seorang kyai NU, jiwa leadershipnya sudah terlihat sejak kecil. Hal ini terbukti dengan terpilihnya Ulil sebagai ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU Jakarta, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), juga menjadi staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta, dan menjadi Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Ia pun tercatat sebagai Penasehat Ahli Harian Duta Masyarakat.
Menuai Kontroversi
Bagi kalangan ulama dan akademisi, tentunya Ulil Abshar bukanlah sebuah nama asing lagi. Ia dikenal sebagai seorang pluralis paling gigih dalam menyampaikan ide Islam Liberal. Berbagai pandangan dan gagasan yang tertuang dalam tulisannya banyak dimuat di berbagai media cetak maupun media elektonik. Kerap kali ia mengisi seminar dan debat terbuka di universitas-universitas. Kelompok diskusi JIL yang di koordinatorinya pun banyak bersuara tentang Liberalisasi Tafsir Islam.
Saat ini Ulil memang banyak menuai simpati plus kritik dari berbagai kalangan. Bagi yang sejalan dengan pemikiran Ulil atas kiprahnya yang getol mengusung gagasan pemikiran Islam Liberal itu dianggap sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam melebihi Nurchalish Madjid. Namun sebaliknya, bagi yang kontra dan menentang gagasan-gagasan Ulil tentang Islam Liberal dan pluralisme agama dianggap sebagai 'orang sesat dan menyesatkan'. Sehingga pantas tulisan-tulisannya di berbagai media massa menuai kontroversi yang cukup menarik. Menurut pengamatan penulis, gagasan pemikiran Ulil banyak diilhami oleh cendekiawan Muslim lain seperti Cak Nur, Ibn Araby, Mohammed Arkoun dan lain sebagainya.
Ulil Di mata Ulama
Kontroversi Ulil dengan gagasan Islam Liberalnya membuat kesan dan penilaian tersendiri di mata cendekiawan dan ulama muslim di Indonesia. Gus Dur misalnya, mengaku simpatik dan takjub terhadap pemikiran-pemikiran Ulil. Dalam sebuah peluncuran buku karya Ulil yang berjudul 'Menjadi Muslim Liberal' di Auditorium utama Universitas Paramadina, dalam sambutannya, Gus Dur mengatakan, "Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam." Akibatnya pun dapat diduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan. Gus Dur juga mengapresiasi pemikiran-pemikiran Ulil. Menurutnya, pemikiran dan liberalisme Ulil, tak ada yang perlu dikhawatirkan.” Gus Dur hanya melihat Ulil risau dengan hilangnya iklim kebebasan berpikir di dunia Islam dan ia mengiaskan pengalaman Ulil dengan apa yang dialami Ibnu Rusyd. Dalam situs gusdurnet.com, Gus Dur pun mengatakan kalau Ulil berbeda dengan orang-orang pesantren lainnya karena ia menjalani profesi bukan pada lingkungan pesantren. Ia juga berani mengemukakan paham Liberalisme Islam yang dinilai sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan 'kemerdekaan berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya', sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap hal ini. Selain Gus Dur, banyak juga yang mendukung gagasan pemikiran Ulil, diantaranya Jalaludin Rahmat, Azyumardi Azra, Goenawan Muhammad dan Lutfi Assyaukani.
Lain halnya Ulil di mata kalangan ulama dan cendekiawan lain. Hartono Ahmad Jaiz misalnya, penulis yang giat meneliti tentang aneka pemahaman Islam di Indonesia ini menyatakan kalau paham Liberalisme dan Pluralisme agama yang diusung Ulil dianggap sebagai paham yang tidak punya dalil atau landasan yang benar dan tidak memiliki paradigma ilmiah serta rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan. Paham tersebut juga dianggap sebagai paham penyembah rasio. Tidak sedikit Cendekiawan dan Ulama yang menentang gagasan Liberalisme Islam Ulil, diantaranya Adian Husaini, FPI, MUI, MMI, FUI dan masih banyak lagi. Hal ini terbukti ketika 31 ormas menggelar tabligh akbar di Masjid Al Azhar Jaksel untuk mendukung sebelas fatwa MUI pada bulan Agustus 2005. Diantara fatwa tersebut menjelaskan tentang terlarangnya penyebaran Ahmadiyah di Indonesia serta memberi label 'haram' terhadap paham Liberalisme dan Sekularisme. Dalam tabligh akbar tersebut hadir lebih dari 700 jamaah wakil berbagai ormas Islam pendukung fatwa MUI.
Bahkan setelah acara tersebut usai, Massa dari Front Pembela Islam (FPI) berencana langsung menuju markas JIL di Jl. Utan Kayu no. 68H, Matraman, Jakarta Timur untuk melakukan demonstrasi. Namun demonstrasi itu urung dilakukan menyusul keputusan rapat beberapa wakil ormas Islam di masjid Al Azhar. Bahkan sebulan setelah itu, rombongan warga yang mengatasnamakan Forum Umat Islam (FUI) mendesak Camat Matraman untuk menutup Kantor JIL di Utan Kayu. Menurut mereka, keberadaan JIL dan Komunitas Utan Kayu meresahkan masyarakat. Dalam aksi unjuk rasa itu menampilkan spanduk-spanduk bertuliskan "JIL Haram, Darah Ulil Halal".
Demikianlah kutipan singkat perjalanan Ulil Abshar Abdalla, penulis buku Menjadi Islam Liberal. Dalam profil ini, penulis sama sekali tidak bermaksud mengkampanyekan pemikiran Ulil yang kontroversial. Justru sebaliknya, gagasan pemikiran Mas Ulil cukup bertentangan dengan ideologi penulis. Namun penulis hanya berharap kepada pembaca untuk dapat mengambil nilai universal yang positif dari pribadi seorang Ulil Abshar Abdalla. (Dikutip dari berbagai sumber)
benarkah kalau beliau tidak menyelesaikan penididikan di LIPIA? jika ya, bergelar sarjana/Lc darimanakah beliau?