Penulis : Mahmud al-Murakiby
Tebal : 156 halaman
Penerbit : Maktabah Usrah
Sebuah risâlah nabawiyah (appoinment of propheted) yang dilimpahkan Allah Swt. kepada Muhammad Saw. telah terbungkus rapi dalam sebuah paket agung bernama "Islam". Agama Islam telah dijanjikan Allah sebagai tuntunan hidup umat di dunia dan akhirat dalam segala aspek (QS 27:2). Baik tatanan ibadah, syari'ah, ekonomi dan tatakrama sosial telah tertata rapi dalam dustur Islam: al-Qur'an. Demikian halnya dalam politik, Islam juga telah memilki miniatur sistem pemerintahan untuk mengelola sebuah negara.
Paling tidak, muqaddimah itulah yang ingin dipaparkan oleh Mahmud al-Murakiby, seorang sarjana engenering Universitas Ain as-Syams Cairo dalam bukunya Mandzhûmat al-Hukm fi al-Fikr al-Islâm. Buku ini adalah buku kedua dari tiga buah buku paket berseri dengan judul besar Al-Islâm wa ad-Dîmuqrâtiyah. Pada buku pertama yang berjudul Ad-Dîmuqrâtiyah; Wâhah am Sarâb (Demokrasi; Oase atau Fatamorgana?), penulis menjelaskan tentang paham demokrasi dari berbagai perspektif yang berbeda. Mulai dari perspektif negara hingga agama. Dalam perspektif agama misalnya, tata nilai demokrasi tidak ditemukan dalam budaya masyarakat Yahudi. Dimana sebuah negara dipimpin oleh seorang pemimpin spiritual (kâhin) yang dalam setiap kebijakan politiknya harus dilaksanakan oleh rakyat (ijbâri, absolut). Karena setiap kebijakan seorang pemimpin spiritual selalu mengatasnamakan perintah Tuhan. Dalam persfektif negara —dalam hal ini Amerika Serikat— demokrasi dianggap sebagai sebuah solusi alternatif untuk membangun sebuah negara berperadaban (hadhâri). Karena kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat dan berkreasi hanya akan ditemukan dalam sebuah negara berasaskan demokrasi. Walaupun dalam bukunya ini penulis menentang keras kalau kemajuan sosial dan politik di Amerika disebabkan demokrasi. Menurutnya, kemajuan Amerika disebabkan sebuah akumulasi dari perbudakan selama ratusan tahun silam.
Sebagai tindak lanjut dari buku tersebut, buku ini menjelaskan tentang sebuah tata negara dalam Islam. Sebelum penulis menjelaskan komposisi negara dalam Islam, secara historis, terlebih dahulu diceritakan "mandul" nya sistem politik Islam. Bahwa sejak abad XX, peranan Islam sebagai agama samawi yang sempurna (perfect, kamâl) mulai pudar. Baik peranannya sebagai sebuah jalan lurus menuju kehidupan abadi di akhirat, maupun sebagai sebuah solusi yang secara eksplisit menjawab sejuta problematika umat. Dalam skala makro, peranan politik Islam pun mulai nihil sejak runtuhnya Khilâfat al- Islâmiyah Turky Utsmani pada tahun 1922. Sejak saat itu, mulai tumbuh tatanan politik baru: Komunisme (Syuyû'iyah) di Timur yang merupakan representasi politik Uni Soviet, Demokrasi (Dîmuqrâtiyah) di Amerika Serikat dan Matrealisme (ra'sumâliyah) di Eropa. Ketiga sistem politik tersebut mulai dijejalkan oleh penggagasnya secara terbuka sejak berakhirnya Perang Dunia II ke beberapa negara terjajah. Yang unik, secara disadari atau tidak, negara-negara bagian Islam pada masa Khilâfat al-Islâmiyah (duwailât, state in a federal system) dahulu, ternyata menjadi target utama untuk sebisa mungkin dibentuk sebagai negara penganut salah satu sistem politik diatas. Mesir misalnya, setelah mendapatkan kemerdekaan terbatas dari Inggris pada tahun 1922, para elite politik Mesir disibukkan untuk mengadopsi "mentah-mentah" tiga sistem politik tersebut (Komunisme, Demokrasi dan Matrealisme).
Islam dan Politik
Melirik Islam sejak awal munculnya pada masa Rasulullah Saw. hingga saat ini, tentunya akan terlalu banyak menyimpan kosakata sejarah. Politik misalnya, adalah sebuah unsur yang tak mungkin dipisahkan dalam membaca sejarah Islam. Khulafa' ar-Râsyidîn (632-661 M/11-41 H), Daulat al-Umâyah (661-750 M/40-129 H) Daulat al-Abbâsiyah hingga Kerajaan Turki Utsmani disinyalir —walau tidak sepenuhnya murni— merupakan produk politik Islam.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa tatanan politik memang tidak bisa dilepaskan dari Islam. Artinya, Islam dan politik bak dua sisi mata uang logam yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut penulis buku ini, secara essensial Islam telah memberikan solusi politik bagi ummatnya dalam al-Qur'an dan Sunnah. Walaupun penulis tidak menafikan kalau tidak ada statemant baku (ad-Dalîl al-Qath'iy) dalam membentuk sebuah negara Islam versi Khulâfa ar-Râsyidîn, Daulat al-Umayah atau Daulat al-Abbâsiyah. Artinya, sistem negara berbentuk khilafah diatas merupakan sebuah inovasi dan kreasi manusia. Bahkan, penulis menekankan kalau sistem politik negara berbentuk negara agama sangat tidak efektif. Sistem negara seperti ini tidak akan didapat sebuah kebebasan berfikir. Justru sebaliknya, produk pemikiran yang bertentangan dengan keyakinan negara akan menjadi sasaran empuk untuk dikebiri pemerintah.
Maka —lanjut penulis— apapun bentuk sistem negara Islam pada zaman modern saat ini menjadi sah-sah saja. Tentunya, dengan catatan konsisten menjunjung tinggi kemaslahatan masyarakat dalam negara tersebut. Demokrasi, Matrealisme dan Komunisme sangat mungkin diterapkan ke negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, tapi, bukan dengan "carbon-copy" tanpa proses filtrasi. Artinya, ada nilai-nilai politik yang positif dari ketiga sistem politik diatas yang bisa diambil oleh perumus sistem politik sebuah negara.
Pada salah satu pembahasan buku ini, penulis melakukan muwâzanah (perbandingan) antara nilai universal demokrasi dengan panduan bernegara dalam al-Qur'an. Nilai-nilai politik demokrasi dalam Islam yang termaktub dalam al-Qur'an sebagai berikut:
1. Musyawarah (as-Syûra') Merupakan asas dalam demokrasi. Dimana setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama rata. Walaupun nabi Muhammad Saw. dinyatakan sebgai manusia sempurna, namun Allah Swt. Tetap memerintahkannya untuk bertukar pendapat dengan para sahabat (QS 42:38 dan 3 : 159)
2. Kebebasan beragama (QS 2; 256 dan 109:6).
3. Islam menganjurkan saling menasehati. Ketika semua anggota masyarakat melakukan aktifitasnya, tidak dapat dipungkiri akan terdapat kekeliruan dan kekhilafan dalam diri masing-masing. Oleh karena itu, saling menasehati dan bertegur sapa merupakan sebuah langkah untuk menemukan kebenaran dari berbagai kalangan. Demikian pula dalam sebuah sistem kenegaraan, dimana seorang kepala negara tidak bisa bertindak absolut. Ia harus tetap dikritisi oleh lembaga pengawas dalam negara.
4. Keadilan. Sebuah negara akan bangkit dan memiliki peradaban jika keadaan negara adil dan stabil. Dimana setiap hak warganegara diberikan tanpa pandang bulu. Tidak ada perbedaan antara warga negara lokal dan asing. (QS 16: 90).
Pada salah satu pembahasan buku ini, dipaparkan tentang sebuah sistem politik bernegara dalam kacamata Islam, dimana komponen-komponen (miniatur) sebuah negara terdiri dari :
1. Kepala negara (hâkim). Merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki kebijakan-kebijakan politik internal dan eksternal. Hal ini telah dicontohkan oleh Khulafâ ar-Rasyidin.
2. Jamâ'ah ahl al-hal wa al-'Aqd. Merupakan lembaga tertinggi dalam negara yang memiliki wewenang untuk mengangkat dan menurunkan kepala negara. Hal ini telah tercermin dalam sistem pengangkatan Khulafâ ar-Rasyidin.
3. Majlis as-Syûrâ'. Merupakan lembaga perkumpulan wakil masyarakat yang telah dipilih dan dipercaya sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada kepala negara.
4. Dîwân al-Madzhâlim. Merupakan sebuah lembaga keamanan masyarakat. Jika hak-hak sebuah komunitas masyarakat terdzhalimi, maka dewan ini memiliki tanggungjawab perlindungan dan keamanan. Lembaga ini bertanggungjawab secara hukum kepada kepala negara.
5. Sulthah tanfîdziyah. Merupakan pemegang kebijakan politik, sosial dan ekonomi internal sebuah negara. Lembaga ini dipimpin oleh seorang perdana menteri (Wazîr al-Wuzarât, Chief of Ministry) yang membawahi beberapa menteri departemen.
6. Dîwân al-Hisbah li ad-Daulah. Lembaga ini berfungsi sebagai pengontrol debet-kredit keuangan negara yang digunakan oleh perangkat negara diatas.
Inilah sekilas tentang miniatur negara dalam Islam yang ditawarkan oleh Mahmud al-Murakiby. Buku ini akan sangat bermanfaat untuk menambah wawasan intelektual kita, walaupun ada beberapa hal yang harus tetap dikritisi.