Sebagai salah seorang anggota IKPDN, penulis hendak menceritakan sedikit kegalauan hati yang sempat mandeg beberapa hari ini. Sebetulnya, tulisan ini kental dengan 'imajinasi subyektif'. Namun, penulis berharap, tulisan ini bisa dijadikan sebagai 'refleksi preventif' bagi penulis sendiri dan teman-teman IKPDN. Semoga!.
Berbicara tentang perempuan, takkan pernah ada habisnya. Bagaimana tidak, kaum hawa ini selalu menarik untuk diperbincangkan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Ia adalah salah satu makhluk terindah yang telah diciptakan Allah Swt. di dunia. Jika kita hendak menelusuri bibliotheca sejarah dunia perempuan, akan ada banyak figur fenomenal yang terekam. Namun secara makro, titik aksentasi tulisan singkat ini akan berfungsi sebagai 'kail' (bukan ikan!) yang akan melempar wacana seputar posisi perempuan dalam dinamika sejarah keterkungkungannya dari berbagai segregasi negatif.
Dewasa ini, berbicara tentang perempuan tak bisa dilepaskan dari diskursus feminisme dan isu gender yang cukup membosankan sekaligus mengasyikkan. Membosankan karena seakan wacana ini tak pernah menemui titik mufakat. Mengasyikkan karena wacana ini seakan terus mendapat jargon-jargon pemikiran baru yang lintas geografis, demografis bahkan lintas platform ideologis dan teologis sekalipun.
Posisi Perempuan dalam Lintas Sejarah
Secara global, status kedudukan perempuan dalam dimensi sosial dan politik sama sekali tidak mendapat jatah pada sejarah dunia masa lampau, masa sebelum Islam datang. Seperti dikutip Salim al-Bahansawi dalam bukunya Makânat al-Mar'ah bain al-Islâm wa al-Qawânîn al-'Alamiyah, kedudukan perempuan dalam berbagai kitab perundang-undangan (UU) sangatlah mengenaskan. Dalam UU China Kuno misalnya, al-Bahansawi mengutip Kitâb Hadhârât as-Shîn wa al-Yunân yang ditulis Wall Dewrant, terdengar sebuah adagium "Tak ada di dunia ini yang lebih rendah harganya dari perempuan". Dalam tradisi Yunani juga terdengar sebuah adagium "Kita menyewa perempuan-perempuan cantik itu demi kenikmatan, mengambil budak-budak perempuan itu sebagai pembantu rumah dan meminang istri-istri sebagai ibu yang sah dari anak-anak". Di India Kuno, UU Manao menegaskan posisi perempuan dalam pasal 148: "Masa kecil perempuan sepenuhnya berada ditangan sang ayah. Masa dewasanya berada ditangan suami. Jika suami meninggal, perempuan tersebut berada dibawah pengawasan anak-anaknya atau kerabat dekatnya. Jika ia tidak memiliki kerabat dekat, maka statusnya berada dibawah pengawasan pemerintah". Lebih parah lagi, UU Romawi menempatkan perempuan laiknya orang gila. Dalam UU Romawi (al-Alwâh al-Itsna al-'Asyariyah) di sebutkan: "Penyebab hilangnya hak kepemilikan ada tiga: karena ia adalah anak kecil, karena gila dan karena ia adalah seorang perempuan". Sebagai kitab UU tertua di dunia, UU Hamurabi juga memojokkan status sosial perempuan. Pada pasal 129, UU ini mengatakan: "Jika seorang perempuan menjadi terdakwa sebuah kasus perzinahan, namun seorang jaksa tidak meiliki bukti yang kuat, maka perempuan tersebut digiring kesebuah sungai dekat pengadilan untuk dilempar. Jika perempuan tersebut mengambang, maka perempuan itu dinyatakan tidak bersalah. Namun, jika ia tenggelam, maka perempuan itu dinyatakan berdosa". Al-Bahansawi juga mengutip Dewrant tentang status sosial perempuan di Eropa sebelum renaissance. Dewrant menjelaskan bahwa perempuan Eropa masa itu ibarat barang dagangan yang bisa diperjualbelikan dengan bebas. Inggris misalnya, pada tahun 1805 menjual perempuan muda dengan harga sekitar 500 poundsterling.
Dari sini bisa kita tarik benang merah bahwa UU klasik tentang perempuan sangat kental dengan nuansa diskriminatif yang dogmatik eksklusivistik.
Nabi Muhammad Seorang Feminis (?)
Islam, sebagai agama demokratis sebenarnya telah menjawab bahkan telah menyelesaikan berbagai problematika keterkungkungan perempuan dalam segala aspek. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan. Sebagaimana kita ketahui, kaum jahiliyah saat itu betul-betul 'alergi' terhadap perempuan. Buktinya, mereka tak segan-segan untuk mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap sebagai simbol kehinaan (humble symbol). Qasim Amien dalam bukunya Tahrîr al-Mar'ah pun menegaskan tentang diskriminasi jahiliyah terhadap perempuan. Beberapa poin diskriminatif yang dikutip Qasim adalah: Ketiadaan hak warits, tak ada hak suara untuk memilih suami, poligami tanpa batas, dsb.
Namun, budaya jahiliyah nampaknya tak selalu subur. Nabi Muhammad yang datang melalui bendera Islam ternyata mampu menepis patriarkalisme (male dominated). Ada hal menarik yang dikutip DR. Zainab Ridwan dalam bukunya al-Islam wa al-Qhadaya al-Mar'ah (1993), dalam salah satu sub judul yang diutarakan, ia menuturkan bahwa sejatinya Islam adalah agama pertama yang mengusung feminisme. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pesan esensial teks familiar yang jelas-jelas menempatkan posisi perempuan sejajar dengan laki-laki. Dalam surat al-A'raf ayat 189 dan an-Nisa ayat 1 tertulis kata "zauj"(mudazkkar) yang secara etimologi berarti "pasangan yang saling melengkapi". Lebih lanjut, Zainab mengatakan bahwa tidak terdapat satu kata pun ayat al-Qur'an yang menyebut kata "zaujah" (muannats) dan tidak terdapat pula jama' "zaujat", yang ada hanya "azwaj". Dari sini, Zainab berkesimpulan bahwa dari angle etimologi saja, al-Qur'an sudah mengalihkan bias patriarkalisme dogmatik eksklusivistik menjadi feminisme demokratis insklusivistik. Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun.
Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah. Dalam dimensi politik, al-Qur'an sendiri melegitimasi kepemimpinan Ratu Balqis dalam sebuah sistem politik dinasti dimasa Nabi Sulaiman AS. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu kampium bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan.
Stereotip Barat tentang Misoginis Patriarkalisme Dunia Islam
Menurut Shorwalter, seperti dikutip Nurchalis Madjid dalam bukunya Islam Agama Peradaban, wacana jender dan feminisme mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977. Pada awalnya, pengaruh feminisme barat sering merujuk pada perbincangan dan pemikiran tokoh wanita di Amerika Serikat pada penghujung tahun 1840-an seperti Elizabeth Cady Stanton, Susan B Anthony, Lucy Stone dan Sojourner Truth. Menariknya, yang selalu jadi basis sasaran kajian problema mereka adalah dunia Arab dan Islam. Karena mereka melihat nasib kaum perempuan di banyak negara yang secara representatif mewakili dunia Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran, dll. adalah negara-negara yang kerap mendiskreditkan hak, harkat dan martabat perempuan. Stereotip ini terus menguat dengan penerbitan-penerbitan novel karya Barat seperti The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy dan masih banyak lagi.
IKPDN Bias Gender ; Masa Sich...?
Dari paparan diatas, penulis ingin sedikit mengejawantahkan analogi feminisme kedalam organisasi kita tercinta, IKPDN. Melalui analisa subyektif, tanpa bermaksud men-judge siapapun, penulis berasumsi bahwa ada bias-bias gender patriarkal yang masih menjadi paradigma sebagian masyarakat organisasi almamater ini. Sekedar contoh, ketika SPA bulan Februari lalu, secara politis, seakan perempuan sama sekali tidak mendapat tempat untuk memimpin organisasi ini. Contohnya saja, ada dua calon ketua IKPDN dari perempuan: Afridesy Puji Pancarani (Puput) dan Cut Endang Puspasari (Icut). Juga, ada calon pemred Perdana dari pihak perempuan: Hartini Azhar (Tini). Penulis melihat pencalonan ketiga 'bidadari' diatas kurang semangat dan miskin supporter. Padahal, secara kapabilitas memimpin, mereka bertiga tak diragukan lagi. Tapi etahlah, mungkin saja mereka berfikir kalau mereka takkan terpilih dengan dalih karena mereka adalah perempuan yang tak boleh memimpin sebuah organisasi. Namun, semoga saja bukan itu alasan mereka. Karena jika alasan mereka seperti ini, terus terang, secara tak sadar, kita semua sedang berada dalam sebuah masalah besar. Dan secara tak disengaja, kita sedang terjebak dan menganggap bahwa perempuan adalah kaum misoginis (sumber malapetaka). Secara tak sadar pula, serpihan-serpihan asumsi minor seperti ini bukan tidak mungkin akan menemui titik kulminasi klimaks yang kemudian mengajak kita untuk kembali mengadopsi paradigma patriarkalisme.
Terus terang, penulis sama sekali tidak bermaksud membesar-besarkan masalah yang dinilai sepele, apalagi memiliki tujuan politis karena tidak terpilih menjadi pemred Perdana. Bukan. Bukan itu!. Penulis hanya sedikit terinspirasi dengan judul buku karya Karen Amstrong, "Think Global!" yang selalu mengajak kita untuk selalu berfikir besar. Sejatinya, penulis berharap, sekalipun organisasi kita ini terbilang kecil, namun tidak seharusnya membuat kita berpikir kerdil. Sebetulnya, motivasi dasar tulisan ini hanya berawal dari sepintas kekhawatiran belaka. Ya, penulis khawatir jika kita terus memanjakan diri untuk selalu "meng-iya-kan" apa yang kita anggap "iya", tanpa berani sedikitpun untuk mengatakan "tidak" pada hal apapun. Jika hal ini terjadi, bukan tidak mungkin pula, ketika kita pulang ke tanah air nanti akan membawa 'oleh-oleh pemikiran' yang 'karatan'. Padahal sejatinya, Allah Swt. senantiasa berpesan dan mengingatkan kepada manusia untuk selalu bertafakkur. Dan terakhir, ini yang paling penting, penulis sangat berharap, semoga kita tidak menganggap perempuan sebagai "rongsokan" dan "tai ayam" (dari berbagai interpretasinya). Semoga!.
Berbicara tentang perempuan, takkan pernah ada habisnya. Bagaimana tidak, kaum hawa ini selalu menarik untuk diperbincangkan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Ia adalah salah satu makhluk terindah yang telah diciptakan Allah Swt. di dunia. Jika kita hendak menelusuri bibliotheca sejarah dunia perempuan, akan ada banyak figur fenomenal yang terekam. Namun secara makro, titik aksentasi tulisan singkat ini akan berfungsi sebagai 'kail' (bukan ikan!) yang akan melempar wacana seputar posisi perempuan dalam dinamika sejarah keterkungkungannya dari berbagai segregasi negatif.
Dewasa ini, berbicara tentang perempuan tak bisa dilepaskan dari diskursus feminisme dan isu gender yang cukup membosankan sekaligus mengasyikkan. Membosankan karena seakan wacana ini tak pernah menemui titik mufakat. Mengasyikkan karena wacana ini seakan terus mendapat jargon-jargon pemikiran baru yang lintas geografis, demografis bahkan lintas platform ideologis dan teologis sekalipun.
Posisi Perempuan dalam Lintas Sejarah
Secara global, status kedudukan perempuan dalam dimensi sosial dan politik sama sekali tidak mendapat jatah pada sejarah dunia masa lampau, masa sebelum Islam datang. Seperti dikutip Salim al-Bahansawi dalam bukunya Makânat al-Mar'ah bain al-Islâm wa al-Qawânîn al-'Alamiyah, kedudukan perempuan dalam berbagai kitab perundang-undangan (UU) sangatlah mengenaskan. Dalam UU China Kuno misalnya, al-Bahansawi mengutip Kitâb Hadhârât as-Shîn wa al-Yunân yang ditulis Wall Dewrant, terdengar sebuah adagium "Tak ada di dunia ini yang lebih rendah harganya dari perempuan". Dalam tradisi Yunani juga terdengar sebuah adagium "Kita menyewa perempuan-perempuan cantik itu demi kenikmatan, mengambil budak-budak perempuan itu sebagai pembantu rumah dan meminang istri-istri sebagai ibu yang sah dari anak-anak". Di India Kuno, UU Manao menegaskan posisi perempuan dalam pasal 148: "Masa kecil perempuan sepenuhnya berada ditangan sang ayah. Masa dewasanya berada ditangan suami. Jika suami meninggal, perempuan tersebut berada dibawah pengawasan anak-anaknya atau kerabat dekatnya. Jika ia tidak memiliki kerabat dekat, maka statusnya berada dibawah pengawasan pemerintah". Lebih parah lagi, UU Romawi menempatkan perempuan laiknya orang gila. Dalam UU Romawi (al-Alwâh al-Itsna al-'Asyariyah) di sebutkan: "Penyebab hilangnya hak kepemilikan ada tiga: karena ia adalah anak kecil, karena gila dan karena ia adalah seorang perempuan". Sebagai kitab UU tertua di dunia, UU Hamurabi juga memojokkan status sosial perempuan. Pada pasal 129, UU ini mengatakan: "Jika seorang perempuan menjadi terdakwa sebuah kasus perzinahan, namun seorang jaksa tidak meiliki bukti yang kuat, maka perempuan tersebut digiring kesebuah sungai dekat pengadilan untuk dilempar. Jika perempuan tersebut mengambang, maka perempuan itu dinyatakan tidak bersalah. Namun, jika ia tenggelam, maka perempuan itu dinyatakan berdosa". Al-Bahansawi juga mengutip Dewrant tentang status sosial perempuan di Eropa sebelum renaissance. Dewrant menjelaskan bahwa perempuan Eropa masa itu ibarat barang dagangan yang bisa diperjualbelikan dengan bebas. Inggris misalnya, pada tahun 1805 menjual perempuan muda dengan harga sekitar 500 poundsterling.
Dari sini bisa kita tarik benang merah bahwa UU klasik tentang perempuan sangat kental dengan nuansa diskriminatif yang dogmatik eksklusivistik.
Nabi Muhammad Seorang Feminis (?)
Islam, sebagai agama demokratis sebenarnya telah menjawab bahkan telah menyelesaikan berbagai problematika keterkungkungan perempuan dalam segala aspek. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan. Sebagaimana kita ketahui, kaum jahiliyah saat itu betul-betul 'alergi' terhadap perempuan. Buktinya, mereka tak segan-segan untuk mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap sebagai simbol kehinaan (humble symbol). Qasim Amien dalam bukunya Tahrîr al-Mar'ah pun menegaskan tentang diskriminasi jahiliyah terhadap perempuan. Beberapa poin diskriminatif yang dikutip Qasim adalah: Ketiadaan hak warits, tak ada hak suara untuk memilih suami, poligami tanpa batas, dsb.
Namun, budaya jahiliyah nampaknya tak selalu subur. Nabi Muhammad yang datang melalui bendera Islam ternyata mampu menepis patriarkalisme (male dominated). Ada hal menarik yang dikutip DR. Zainab Ridwan dalam bukunya al-Islam wa al-Qhadaya al-Mar'ah (1993), dalam salah satu sub judul yang diutarakan, ia menuturkan bahwa sejatinya Islam adalah agama pertama yang mengusung feminisme. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pesan esensial teks familiar yang jelas-jelas menempatkan posisi perempuan sejajar dengan laki-laki. Dalam surat al-A'raf ayat 189 dan an-Nisa ayat 1 tertulis kata "zauj"(mudazkkar) yang secara etimologi berarti "pasangan yang saling melengkapi". Lebih lanjut, Zainab mengatakan bahwa tidak terdapat satu kata pun ayat al-Qur'an yang menyebut kata "zaujah" (muannats) dan tidak terdapat pula jama' "zaujat", yang ada hanya "azwaj". Dari sini, Zainab berkesimpulan bahwa dari angle etimologi saja, al-Qur'an sudah mengalihkan bias patriarkalisme dogmatik eksklusivistik menjadi feminisme demokratis insklusivistik. Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun.
Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah. Dalam dimensi politik, al-Qur'an sendiri melegitimasi kepemimpinan Ratu Balqis dalam sebuah sistem politik dinasti dimasa Nabi Sulaiman AS. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu kampium bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan.
Stereotip Barat tentang Misoginis Patriarkalisme Dunia Islam
Menurut Shorwalter, seperti dikutip Nurchalis Madjid dalam bukunya Islam Agama Peradaban, wacana jender dan feminisme mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977. Pada awalnya, pengaruh feminisme barat sering merujuk pada perbincangan dan pemikiran tokoh wanita di Amerika Serikat pada penghujung tahun 1840-an seperti Elizabeth Cady Stanton, Susan B Anthony, Lucy Stone dan Sojourner Truth. Menariknya, yang selalu jadi basis sasaran kajian problema mereka adalah dunia Arab dan Islam. Karena mereka melihat nasib kaum perempuan di banyak negara yang secara representatif mewakili dunia Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran, dll. adalah negara-negara yang kerap mendiskreditkan hak, harkat dan martabat perempuan. Stereotip ini terus menguat dengan penerbitan-penerbitan novel karya Barat seperti The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy dan masih banyak lagi.
IKPDN Bias Gender ; Masa Sich...?
Dari paparan diatas, penulis ingin sedikit mengejawantahkan analogi feminisme kedalam organisasi kita tercinta, IKPDN. Melalui analisa subyektif, tanpa bermaksud men-judge siapapun, penulis berasumsi bahwa ada bias-bias gender patriarkal yang masih menjadi paradigma sebagian masyarakat organisasi almamater ini. Sekedar contoh, ketika SPA bulan Februari lalu, secara politis, seakan perempuan sama sekali tidak mendapat tempat untuk memimpin organisasi ini. Contohnya saja, ada dua calon ketua IKPDN dari perempuan: Afridesy Puji Pancarani (Puput) dan Cut Endang Puspasari (Icut). Juga, ada calon pemred Perdana dari pihak perempuan: Hartini Azhar (Tini). Penulis melihat pencalonan ketiga 'bidadari' diatas kurang semangat dan miskin supporter. Padahal, secara kapabilitas memimpin, mereka bertiga tak diragukan lagi. Tapi etahlah, mungkin saja mereka berfikir kalau mereka takkan terpilih dengan dalih karena mereka adalah perempuan yang tak boleh memimpin sebuah organisasi. Namun, semoga saja bukan itu alasan mereka. Karena jika alasan mereka seperti ini, terus terang, secara tak sadar, kita semua sedang berada dalam sebuah masalah besar. Dan secara tak disengaja, kita sedang terjebak dan menganggap bahwa perempuan adalah kaum misoginis (sumber malapetaka). Secara tak sadar pula, serpihan-serpihan asumsi minor seperti ini bukan tidak mungkin akan menemui titik kulminasi klimaks yang kemudian mengajak kita untuk kembali mengadopsi paradigma patriarkalisme.
Terus terang, penulis sama sekali tidak bermaksud membesar-besarkan masalah yang dinilai sepele, apalagi memiliki tujuan politis karena tidak terpilih menjadi pemred Perdana. Bukan. Bukan itu!. Penulis hanya sedikit terinspirasi dengan judul buku karya Karen Amstrong, "Think Global!" yang selalu mengajak kita untuk selalu berfikir besar. Sejatinya, penulis berharap, sekalipun organisasi kita ini terbilang kecil, namun tidak seharusnya membuat kita berpikir kerdil. Sebetulnya, motivasi dasar tulisan ini hanya berawal dari sepintas kekhawatiran belaka. Ya, penulis khawatir jika kita terus memanjakan diri untuk selalu "meng-iya-kan" apa yang kita anggap "iya", tanpa berani sedikitpun untuk mengatakan "tidak" pada hal apapun. Jika hal ini terjadi, bukan tidak mungkin pula, ketika kita pulang ke tanah air nanti akan membawa 'oleh-oleh pemikiran' yang 'karatan'. Padahal sejatinya, Allah Swt. senantiasa berpesan dan mengingatkan kepada manusia untuk selalu bertafakkur. Dan terakhir, ini yang paling penting, penulis sangat berharap, semoga kita tidak menganggap perempuan sebagai "rongsokan" dan "tai ayam" (dari berbagai interpretasinya). Semoga!.