Zyz Ibrahim Syah
Memang benar, Indonesia ternyata masih kaya akan krisis. Ekonomi, politik, sosial bahkan hingga kepercayaan kerap akrab dengan krisis. Tengok saja, anda tentu masih ingat betul sejak krisis ekonomi melanda Asia pada 1998 lalu. Saat itu, bursa efek berantakan, Rupiah anjlok hingga seratus persen. Lalu, masyarakat bangsa ini (baca:Indonesia) mulai gerah akan ketidakbecusan Orde Baru. Dan akhirnya, rezim Orde Baru pun dipaksa gulung tikar. Sejak saat itulah para elite politik dan rakyat mulai lantang menyuarakan reformasi demi kebangkitan Indonesia. Sejak saat itu pula, elite politik mulai 'pamer jasa' dan 'mengemis simpati' pada rakyat melalui pemilihan umum (pemilu) 1999. Ada yang bercita-cita luhur, adapula yang ngaur. Hasilnya, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi orang nomor satu di Negeri Pancasila ini. Namun, belum sempat Gus Dur-sapaan akrab Abdurrahman Wahid- duduk nyantai di Istana, kursi itu telah di caplok Megawati Soekarno Putri yang tak lain adalah wakil presiden Gus Dur.

Setelah reformasi berumur lima tahun, Indonesia membuka pentas sejarah baru dengan melaksanakan pemilu langsung oleh rakyat untuk memilih seorang kepala negara (baca:presiden). Walau masih agak canggung dengan sistem demokrasi langsung, rakyat tetap tersenyum menyambut Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Tak ragu lagi, rakyat menaruh sejuta harapan, mengharap wejangan dan kasih sayang dari duet SBY-JK yang mereka yakini sebagai 'dewi fortuna' yang akan merubah suasana politik radikal menjadi santun. Dan dari ekonomi yang terpuruk menjadi bangkit. Singkatnya, rakyat berharap hidup makmur. Boleh kita bilang, tahun 2004 adalah tahun emas bagi SBY-JK.

Baru dua minggu menjalankan kemudi pemerintahan, pamor keduanya makin melambung dengan agenda 100 harinya. Terlebih ketika SBY terus berjanji meyakinkan rakyat untuk terus memberantas 'virus pejabat' yang bernama korupsi. Tidak hanya itu, pembangunan rumah miskin, pemulihan ekonomi, dan penindakan tegas pada pelaku terorisme juga tak luput dari agenda SBY-JK. Tak bisa dipungkiri, kinerja SBY-JK memang kian pasang surut bak air di lautan. Setelah kinerja pemerintahannya berjalan selama hampir tiga tahun, masih banyak janji-janji manis presiden yang belum terpenuhi. Hingga saat ini rakyat masih menuntut beras murah, bahan bakar minyak (BBM) yang murah, sikap tegas pemerintah pada pejabat yang jelas-jelas salah karena KKN. Melihat kinerja SBY-JK yang dinilai tak becus menangani masalah-masalah tersebut, para elite politik merasa tak bisa menutup mata dan tinggal diam. Para aktivis politik nasional seperti Gus Dur turut unjuk gigi melihat kesemerautan pemerintah. Bahkan Gus Dur mengatakan akan membuat pemerintah tandingan kalau SBY-JK tak bisa berbuat apa-apa. Tak hanya Gus Dur, berbagai kecaman dan kritikan juga datang dari mantan wapres Orde Baru Try Sutrisno melalui Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR) yang mengusulkan pemerintah SBY-JK segera dihentikan. Dan masih banyak lagi para elite yang tak sabar melihat SBY-JK jatuh. Semoga saja para elite tersebut berbicara atas nurani rakyat, namun disini penulis mengajak pembaca untuk berfikir sejenak.

Benarkah para elite berjuang murni karena rakyat, atau mereka punya rencana lain? Begitu rancu memang percaturan politik negeri ini. Namun inilah wajah politik bangsa kita. Ibarat mengendarai sebuah mobil, terlalu banyak orang yang ingin memegang setir yang jumlahnya hanya satu. Tiap orang ingin memegang setir hingga disebut berjasa dan pandai menyetir. Bukankah sikap ini salah? Karena tujuan mengendarai mobil adalah agar ia sampai pada tempat yang dituju dengan tepat dan selamat. Tidak peduli siapa yang mengemudi, asalkan dia memang tahu ilmu mengemudi. Begitu pula dengan pemerintah,-sepanjang pengetahuan dan pengamatan penulis- 'sebagian' para elite politik yang selalu mengatasnamakan rakyat dalam setiap tindak-tanduknya seakan tidak memiliki niat tulus (clean purpose) untuk membangun bangsa. Namun, hanya ingin melampiaskan ambisi merebut kekuasaan. Sehingga hasilnya bisa ditebak, bukan kemakmuran rakyat yang terusung, namun krisis yang tak berujung. Disini, penulis samasekali tidak bermaksud pro SBY-JK.

Kabinet SBY-JK memang harus dikritisi. Dalam pemerintahan yang demokratis, budaya kritik harus dikembangsuburkan. Pemerintahan yang demokratis meniscayakan budaya kritik, karena budaya kritik dapat mendinamisasi sebuah pemerintahan. Kritik sebenarnya memberi sintesis perbaikan dan penyempurnaan untuk proses menegara. Kini menjadi jelas, hadirnya ‘tukang kritik’ menjadi pilar sebuah pemerintahan yang demokratis. Matinya tukang kritik melahirkan pemerintahan yang tiran dan otoriter. Dalam sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami matinya tukang kritik pada rezim Orba yang disebut rezim pemangsa. Selama 32 tahun kita mengalami sistem pemerintahan panoptik yang kasar. Sri Bintang Pamungkas adalah salah satu tokoh tukang kritik yang dipasung. Ia dituduh menghina Presiden Soeharto sehingga dijatuhi hukuman penjara. Apabila tukang kritik dibungkam, demokrasi menemukan ajalnya. Kehadiran tukang kritik adalah suatu keniscayaan dalam sebuah pemerintahan yang demokratis. Menihilkan tukang kritik sama dengan membangun pemerintahan yang tiran dan otoriter. Terakhir, penulis berharap para elite politik yang gencar menghajar SBY-JK harus tetap rajin merefleksi diri. Benarkah suara mereka murni untuk rakyat, atau cuma bekal mereka menghadapi pemilu 2009 nanti? Dan bagi pasangan SBY-JK, penulis dan semua rakyat Indonesia berharap transparansi dan realisasi atas segala janji-janji kampanye dulu!. Semoga Indonesia makin jaya!.
Labels:
0 Responses