Zyz Ibrahim Syah
Belajar di Ma'had Buuts al-Azhar, Tsanawy atau I'dady, adalah sebuah kesempatan emas bagi siapapun. Bagaimana tidak, dijenjang pra S1 ini, kita diajak menelusuri seluruh disiplin ilmu Islam secara global: Bahasa Arab, Fiqh, Tauhid, Tafsir, Hadits, dsb. Mungkin kita boleh saja sepakat, atau juga tidak, jika standar kenaikan dan kelulusan di Ma'had tidak seketat dengan S1 (baca: kuliah), karena Ma'had memang dirancang sebagai wadah pembekalan menuju S1. Kurang lebih begitu.

Sebagai salah seorang santri Ma'had yang baru lulus, penulis hendak menceritakan sedikit kegalauan hati yang sempat mandeg beberapa hari ini. Sebetulnya, tulisan ini kental dengan 'imajinasi subyektif'. Namun, penulis berharap, tulisan ini bisa dijadikan sebagai 'refleksi preventif' bagi penulis sendiri dan teman-teman Ma'had. Mungkin nggak yah? Terus terang, menyabet gelar alumni Ma'had tentunya menjadi kebanggan tersendiri bagi pelajar asing (baca: wafidin), termasuk pelajar Indonesia. Tak bisa dinafikan, secara psikologis, mereka (baca: alumni Ma'had) memang lebih siap duduk dibangku kuliah ketimbang dengan mereka yang lulus Madrasah Aliyah di Indonesia. Ini tak lain karena proses adaptasi dengan lingkungan masyarakat Mesir telah lebih dini dilakukan oleh pelajar Ma'had. Tentunya, Ini bisa saja jadi nilai plus buat kita. Namun sayang --tanpa bermaksud menuduh--, kelebihan dan kebanggan diatas terkadang belum bisa disikapi dengan arif dan bijak. Berdasarkan analisa kecil penulis --walaupun belum pantas disebut sebagai analisa--, kelebihan yang seharusnya mampu memicu jebolan (baca: alumni) Ma'had untuk lebih memaksimalkan diri ketika duduk dibangku kuliah, justru jadi sebaliknya. Kebanggaan atas kelebihan yang dimilki justru berpotensi menjadi benih-benih percaya diri berlebihan, hiper. Michael Smith, seorang pakar psikologi asal Harvard University menyebut percaya diri yang berlebihan itu sebagai "over confidence".Dalam bukunya, Pshycology and Human Being, Smith mengatakan jika over confidence lahir dari rasa percaya diri yang overdosis dan bukan menggambarkan kondisi kejiwaan yang sehat. Karena hal tersebut merupakan rasa percaya diri yang bersifat semu. Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orang tua dan masyarakat (sosial), hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untuk menjadi orang lain.

Selain itu, persepsi yang keliru pun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri sendiri hingga rasa percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh kesadaran pada batas kemampuan yang dimiliki. Hal ini pun bisa didapat dari lingkungan di mana individu di besarkan, dari teman-teman (peer group) atau dari dirinya sendiri (konsep diri yang tidak sehat).

Jika objek studi kasus atas penuturan Smith tentang 'over confidence' diatas adalah alumni Ma'had yang sedang duduk dibangku kuliah termasuk saya tentunya-- mungkin akan sangat berbahaya. Dikhawatirkan, jika kita over confidence, kita akan cenderung hiper nyantai menghadapi perkuliahan di Universitas al-Azhar. Dengan terlalu merasa yakin dan cukup pada bekal kemampuan bahasa Arab yang didapat dari Ma'had. Sehingga, membaca diktat kuliah sambil terkantuk-kantuk pun sudah merasa paling paham, paling jago. Parahnya, kita kadang ke-GR-an jika ada mahasiswa yang memuji jebolan Ma'had, yang katanya, jago berbahasa Arab. GR sich boleh-boleh saja. Tapi, awas jika sampai terhanyut dan melupakan 'perahu yang bocor'. Saat pengumuman nilai turun, hanya wajah memerah dan dahi berkerut yang diperlihatkan. Bukankah ini mengerikan, kawan?.

Maka, disini kita harus pandai membedakan antara optimis dengan over confidence. Optimis adalah sebuah sikap percaya diri ketika hendak menampilkan potensi diri yang dimiliki. Jadi, optimis mah penting, harus. Karena ia bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi sangat mungkin. Sedang over confidence adalah sebuah sikap hidup dimana tingginya frekwensi keyakinan melupakan frekwensi realita kemampuan. Sehingga cenderung tak berkeinginan untuk meningkatkan potensi diri. Ngeri yah? Terakhir, penulis berharap, semoga tulisan ini bisa menjadi wacana dan langkah awal bagi kita untuk mampu menjadi lebih baik. Semoga. Wallahu a'lam (Pernah dimuat di buletin SuPel (Suara Pelajar) Ma'had al-Azhar Cairo Mesir edisi magang, September 2007)
1 Response
  1. yusako Says:

    saya temen kecilnya puput lho.. hehe.. salam kenal!