Zyz Ibrahim Syah

"...Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya..."

Begitulah gema teriakan semangat menggelora yang direkam oleh sembilan founding father bangsa dalam Preambule UUD '45. Sejatinya, Indonesia adalah bangsa yang sangat menjunjung tinggi nilai dan harkat kemanusiaan tanpa melihat latar belakang suku, ras, agama dan asal daerahnya. Semua warga negara –tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan- memiliki hak yang sama untuk dapat hidup terhormat. Pancasila adalah bukti konkretnya. Bahkan, spirit nilai kemanusiaan yang terbungkus dalam adagium Humanisme harus tetap diletakkan di atas segalanya, termasuk di atas pluralitas agama. Sikap seperti ini sangatlah penting agar integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh terjaga.

Sungguh bukan semboyan belaka jika kemudian Partai Demokrat (PD) yang berdiri pada 9 September 2001 menyadari pentingnya Nasionalisme bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan pernah dan tidak akan mungkin menjadi apa-apa tanpa semangat Nasionalisme. Pasalnya, Indonesia memang terlalu rumit untuk dapat membentuk sebuah "nation". Ada lebih dari 13.000 pulau dan 300 bahasa daerah yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Namun buktinya, itu semua ternyata bukanlah sederet masalah jika Nasionalisme menjadi platform paradigma kebangsaan kita.

Tidak sampai disitu, Partai Demokrat juga sangat menyadari bahwa Nasionalisme hanya akan menjadi pepesan kosong tanpa disertai etika, tatakrama dan akhlaqul karimah. Nasionalisme bukanlah sebuah sikap fanatisme (ta'assub) bangsa yang membabi buta dan berusaha menjatuhkan eksistensi bangsa lain. Oleh karenanya, sikap pembelaan dan perlindungan terhadap bangsa dengan tanpa mengindahkan etika hanya akan membuahkan kolonialisme, bukan Nasionalisme.

Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat, Pada Bab I Pasal 3, dijelaskan bahwa jati diri PD adalah Nasionalis-Religius, yaitu kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta memperhatikan aspek Humanisme, Nasionalisme, dan Pluralisme dalam rangka mencapai tujuan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat. Berangkat dari uraian di atas, tulisan ini akan berusaha membedah jati diri partai dengan sedikit memberikan interpretasi melalui pendekatan agama tertentu (baca: Islam). Tentunya, semangat ini tanpa ada upaya untuk mempolitisir konten agama manapun. Namun, sekedar berusaha untuk meyakinkan konstituen bahwa visi dan misi yang diemban partai sarat dengan nalar ideologis dan pijakan yang bisa dipertanggungjawabkan.


Nasionalis-Religius

Menjadi nasionalis tulen bukan berarti anti-agama. Demikian pula sebaliknya, menjadi muslim yang taat bukan berarti anti-Nasionalisme. Label "anti-agama" yang kerap dituduhkan oleh sebagian genre muslim kepada orang-orang yang berpendirian Nasionalisme adalah sebuah mafhum mukhalafah yang keliru. Al-Maududi (1930-1979) misalnya, selalu bersikap skeptis terhadap Nasionalisme yang dianggapnya sebagai akar pemecah-belah umat dan dapat mensubordinasi Islam. Sebagai seorang muslim, saya melihat bahwa hubungan antara Islam dengan Nasionalisme tidak mesti bersifat diametral. Nasionalisme yang baik justru menjadi konsekwensi logis bagi seorang muslim yang taat. Karena Nasionalisme dalam arti mencintai tanah air (hubbul wathan), mensejahterakan rakyat dan mempertahankan kesatuan negara justru menjadi bagian tak terpisahkan dalam Islam.


Pluralisme

Semangat Pluralisme menjadi platform penting bagi Partai Demokrat. Pluralitas bangsa Indonesia disadari betul sebagai sebuah kekayaan sosial dan budaya menuju pembelajaran politik yang trans-suku, trans-daerah dan trans-agama tanpa mengenal diskriminasi dalam konteks apapun. Pluralitas adalah sebuah keniscayaan hidup di dunia. Karenanya, jauh-jauh hari Allah SWT mengingatkan manusia dalam firmannya:

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal..." (QS. Al-Hujurat : 13)

Walhasil, manajemen keragaman yang ada pada bangsa ini ternyata mampu melibas penjajah melalui semangat Bhinneka Tunggal Ika. Tentunya, tugas memenej karagaman bukan dengan menyeragamkan yang beragam, tetapi menyatukan visi dari kekuatan yang beragam dengan berupaya untuk mentransformasikan hal-hal positif dari berbagai background paradigma dan ideologi pemikiran.


Humanisme

Selain Pluralisme dan Nasionalisme, Humanisme juga menempati posisi yang tinggi dan sangat dihormati dalam wawasan kebangsaan Partai Demokrat. Humanisme diinterpretasikan sebagai wujud penghormatan harkat dan martabat manusia sebagai warga negara. Adagium ini berusaha untuk menghormati hak-hak asasi manusia yang merdeka untuk dapat bebas menjalankan aktivitas sosial, politik dan ekonomi. Karenanya, tidak berlebihan kiranya, jika Muhammad Arkoun dalam bukunya "Rethingking Islam" menyebutkan bahwa Islam adalah agama paling lengkap yang menjelaskan kompleksifitas nilai-nilai Humanisme substantif bagi peradaban manusia. Lanjutnya, Islam adalah sebuah agama pembebasan yang pada masa lahirnya terus berusaha melawan mainstream jahiliyah yang kontra-pembaharuan dan kental dengan nuansa anti-Humanisme. Hal ini terbukti dengan rendahnya martabat seorang perempuan. Konsep Humanisme sendiri senada dengan firman Tuhan:

"Sungguh, telah Kujadikan manusia dalam keadaan/susunan sebaik-baiknya (ahsan taqwim)" (QS. At-Tien :4)

Dan sesungguhnya telah Kami Muliakan anak-anak Adam..." (QS. Al-Isra : 70)


Humanisme yang diterjemahkan sebagai wawasan kebangsaan demi menghargai harkat dan martabat manusia juga dikejawantahkan dalam Pancasila, tepatnya pada sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Melalui nalar ideologis dan pijakan di atas, Partai Demokrat berusaha untuk terus memberikan persembahan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Partai Demokrat bercita-cita untuk terus mempertahankan konsep NKRI yang menjadikan UUD '45 dan Pancasila sebagai landasan negara. Sekali lagi, ini bukan berarti PD tutup mata terhadap ajaran-ajaran keagamaan. Justru sebaliknya, substansi nilai-nilai kegamaan yang hadir dalam akhlaqul karimah menjadi penuntun dalam berpolitik, berbangsa dan bernegara. Transformasi nilai-nilai keagamaan, kesukuan dan kedaerahan akan terus diperjuangkan oleh Partai Demokrat demi menuju Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


(Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Platform Jurnal Demokrat Terkini edisi April 2009, sebuah jurnal terbitan Partai Demokrat DPLN Mesir)

Zyz Ibrahim Syah

Akhir bulan Januari lalu, telinga saya panas memerah. Tentu saja bukan karena terpercik minyak atau air panas. Berita tentang fatwa haram golput (golongan putih) lah yang membuat hati saya terbakar. Sebagai orang Islam, sontak saya merasa tak terima mendengar fatwa garapan MUI itu. Saya langsung bersikap sinis dan curiga. Bahkan juga sempat ngedumel dan bersumpah-serapah. Saat itu, susunan urat saraf dikepala pun langsung memberikan konklusi: ini adalah fatwa politik di tahun politik.


Saya sempat membaca headline salah satu media online, jika fatwa haram golput ini diproduksi oleh MUI dalam sidang pleno ijtima' ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di Padang Panjang Sumatera Barat, Ahad 25 Januari 2009. Ternyata, fatwa ini hadir satu paket dengan fatwa haram rokok yang juga menuai kontroversi.


Mencermati kronologi lahirya fatwa golput, pernyataan MUI ini bak palu godam yang hendak "meremukkan" Gus Dur. Mantan presiden RI ke-4 inilah yang dulu sempat gencar mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak memberikan hak pilihnya dalam pemilu. Memang, sikap Gus Dur hanyalah reaksi dari kedzhaliman yang coba memberangus karir politiknya. Beberapa waktu setelah itu, Hidayat Nur Wahid (HNW) seakan menjadi pahlawan yang hendak ­"menusuk" Gus Dur. HNW yang minta MUI mengeluarkan fatwa haram golput ternyata dikabulkan.


Hughh, jujur, saya BT. Pusing melihat para elit politik muslim yang bermanuver saling tikam. Kasihan rakyat. Mereka hanya dijadikan sebagai alat politik penguasa.


Eitth, tunggu dulu, saya berharap Anda tidak salah sangka. Saya sedang tidak memprovokasi massa Gus Dur (NU) dengan massa PKS. Bukan itu masalahnya. Benang merah yang sebenarnya adalah tentang betapa mirisnya nasib Islam yang tidak jarang terseret-seret masuk ke dalam pagar politik praktis. Mungkin kita masih ingat, pasca pemilu legislatif (pileg) 1999 lalu, Megawati Soekarno Putri sempat "ditelanjangi" oleh para politisi Islam yang tergabung dalam Poros Tengah pimpinan Amin Rais melalui fatwa haramnya kepemimpinan seorang perempuan. Fatwa ini pun berlalu begitu saja. Kadaluwarsa. Maklum, ini semua hanyalah fatwa pesanan yang coba "memperkosa" teks-teks sakral keagamaan.


Sekali lagi, miris memang, dalam peta politik nasional, Islam sering dijadikan umpan oleh partai-partai Islam. Dalam kacamata hukum positif saja, fatwa golput MUI jelas melanggar undang-undang yang menyatakan jika memilih dalam pemilu adalah hak, bukan kewajiban. Melalui logika awam, tentu saja meninggalkan hak adalah sikap yang sah-sah saja. Tidak berdosa. Artinya, golput karena tidak datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) bukanlah suatu perbuatan dosa yang mengantarkan ke neraka. Kenyataan ini justru bertentangan dengan silogisme fatwa haram golput MUI yang kontraproduktif.


Seharusnya, sebelum mengeluarkan fatwa haram golput ini, MUI melakukan riset secara teliti tentang alasan mengapa banyak masyarakat yang memilih golput. Saya yakin, ada banyak alasan dibalik golput. Ada yang benci dengan sikap wakil rakyat yang tidak memperjuangakn aspirasinya. Ada yang kecewa dengan gelagat partai-partai berhaluan Islam. Ada yang muak dengan skandal wakil-wakil rakyat dan ada pula yang memang tak terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap).


Kita memang harus menerima kenyataan. Beginilah nasib Islam yang coba di tarik-tarik ke dalam pentas politik praktis bernuansa pragmatis. Dalam politik, Islam lebih mirip shuttlecock (kok) dalam pertandingan bulu tangkis. Dalam permainan itu, shuttlecock hanya bersikap pasrah untuk siap "ditampar" kesana kemari sesuai keinginan dan kenyamanan sang pemain.

Terakhir, saya teringat dengan apa yang pernah ditulis oleh John L. Esposito dalam Islam and Politic (2002). Dalam salah satu pembahasan, John mengutip: "Agama adalah palu godam paling ampuh untuk memberangus rival politik sekaligus menjadi gula paling manis untuk menebarnya dibalik janji-janji kampanye."


Dus, semakin dekatnya pileg dan pilpres, kita lihat, mungkin saja akan ada lebih banyak konten agama –terutama Islam- yang diseret demi membentengi kepentingan partai tertentu. Karenanya, umat Islam harus lebih cerdas.


Zyz Ibrahim Syah*