Zyz Ibrahim Syah

Pemilu legislatif (pileg) sudah di depan mata. Mendadak, 9 April 2009 menjadi "angka keramat" bagi 38 partai politik (parpol) nasional dan 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Suasana keramat ini tak terkecuali juga dirasakan oleh partai-partai Islam. Dari 44 parpol yang akan bertarung dalam pesta demokrasi lima tahunan kali ini, secara ideologis formil, ada 6 parpol Islam yang siap berjibaku: PKS, PMB, PPP, PBB, PBR, dan PKNU.

Jika kita menilik sejarah perjalanan pemilu, prestasi parpol Islam sungguh tak bisa dibanggakan. Pasalnya, dalam pemilu 1955 saja, akumulasi suara yang berhasil diperoleh enam parpol Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI dan AKUI) hanya 43,9 %. Perolehan suara parpol Islam justru semakin menciut pada pemilu-pemilu berikutnya. Pada pemilu 1971, empat parpol Islam hanya meraih 27,1%.


Demikian halnya pada rezim Orde Baru di mana PPP sebagai satu-satunya partai Islam selama lima kali pemilu (1977, 1982, 1987, 1992, 1997) perolehan suaranya tidak lebih dari 16-30 %. Setali tiga uang dengan pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 terkumpul 17,8 % dari 16 parpol Islam yang turut berpartisipasi, minus PKB dan PAN yang menurut penulis bukan merupakan parpol pengusung Islam secara idelogi formil namun hanya partai yang berbasiskan massa umat Islam.


Dalam Pemilu 2004 lalu, nasib parpol Islam sedikit lebih beruntung dengan akumulasi 21,17 % suara dari 5 parpol Islam yang ada. Saat itu, 7,34 % suara yang diraih oleh PKS cukup menaikkan gengsi parpol-parpol Islam. Namun, akumulasinya tetap saja sangat rendah, jika PKB dan PAN masuk hitungan, akumulasi parpol Islam tidak lebih dari 40%.


Perolehan suara parpol Islam yang selalu berbanding terbalik dengan realitas penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam tentu menimbulkan ironi politik tersendiri bagi sejarah Islam politik di Indonesia


Mengapa Parpol Islam Miskin Peminat?

Para founding father parpol-parpol Islam mungkin selalu berfikir pragmatis ketika mereka mendirikan sebuah partai. Paling tidak, mereka beranggapan bahwa mayoritas konstituen (calon pemilih) yang beragama Islam pasti akan menjatuhkan pilihannya pada parpol-parpol Islam. Silogisme ini tentu sejalan dengan realitas penduduk Indonesia yang 85% beragama Islam. Namun sayang, hingga saat ini, silogisme ini belum menemukan relevansinya. Catatan sejarah di atas adalah bukti konkretnya.


Sepinya peminat parpol-parpol Islam tak lain merupakan kesalahan fatal yang telah dilakukan para elit politik parpol. Isu penegakkan syariah Islam, pemberlakuan Piagam Jakarta dan upaya mendirikan negara Islam yang sering dijadikan menu utama kampanye sungguh sudah tidak menarik simpati konstituen lagi untuk tidak dikatakan tidak laku sama sekali. Mengapa isu-isu bernuansa syariah tidak laku dijual? Jawabannya hanya satu: calon pemilih sudah semakin cerdas.


Calon pemilih mulai menyadari bahwa masalah krusial bangsa ini bukan lagi seputar perdebatan tentang landasan ideologi dan konsep negara. Tapi, masalah primer bangsa ini adalah kemiskinan, pendidikan, perbaikan ekonomi, lapangan pekerjaan, kesejahteraan dan kemakmuran. Juga, secara eksplisit dan implisit, mayoritas masyarakat Indonesia sudah mengakui Pancasila dan UUD '45 sebagai platform ideologi bangsa yang akan menjaga integrasi pluralitas NKRI. Sehingga, sampai kapanpun, jika parpol-parpol Islam hanya berkutat pada "masalah-masalah langit", dan tidak mau berbenah diri untuk memperbaiki program-program yang lebih membumi, maka sejauh itu pula parpol Islam akan semakin tergerus mengalami evolusi.


Terlebih di pemilu 2009, masyarakat Indonesia yang semakin berpendidikan tentu saja tidak akan langsung kepincut jatuh hati melihat simbol ka'bah, bulan-bintang dan menara masjid yang dijajakan parpol-parpol Islam. Umat Islam Indonesia saat ini sudah semakin sekuler. Dalam artian, kaum muslimin sudah tidak lagi terjebak dalam politik simbol dan politik warna-warni yang selama ini terbukti membodohi rakyat.


Kehadiran parpol Islam memang menyimpan dilema tak berujung. Mereka hadir di tengah perpolitikan nasional antara berdakwah dan mencari kepentingan. Dari dua tujuan ini, kepentingan akan kekuasaan seringkali mengalahkan agenda dakwah normatif. Karena toh jika agenda utamanya berdakwah, pasti parpol-parpol Islam akan berjalan seiring sepenanggungan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Dalam beberapa isu bangsa, mereka kerap kali menunjukkan sikap yang bersinggungan satu sama lain.


Memilih Partai Islam bukan Kewajiban

Dulu, di zaman Orde Baru dan Orde Lama, ada banyak juru kampanye parpol-parpol Islam yang mengatakan bahwa memilih partai Islam hukumnya wajib. Partai Masyumi dan Partai NU ada dibarisan terdepan yang mewacanakan hal ini. Sehingga tidak jarang, ancaman masuk neraka menjadi teror paling menakutkan bagi para konstituen.


Tentu saja ini sangat menggelikan. Jika "senjata masuk neraka" masih ada menjelang pemilu 2009, penulis yakin itu hanya akan menjadi sebuah guyonan paling menggelitik. Pasalnya, secara eksplisit mauupun implisit, Islam jelas-jelas tidak mengatur masalah ini. Kenyataan ini bukan berarti kemudian Islam dipandang sebagai agama yang naqish, tidak syamilah mutakamilah (non-universal-integral). Justru sebaliknya, peran Islam yang hadir tanpa embel-embel label politik semakin menunjukkan kesempurnaan Islam itu sendiri. Karena, Islam akan hadir dimana saja dan di partai manapun, baik parpol nasionalis maupun partai Islam. Islam substantif yang hadir sebagai penuntun etika, tatakrama dan akhlaqul karimah lah yang sedang dibutuhkan oleh ummat Islam.


Sebagai muslim, penulis berharap, semoga ironi politik partai-partai Islam sepanjang sejarah akan menjadi pecut ampuh agar mereka mau berbenah diri. Kalau toh Clifford Geertz mengkategorikan umat Islam Indonesia terklasifikasi menjadi priyayi, abangan, dan santri, tapi nampaknya mayoritas muslim kita adalah abangan. Karena umat Islam Indonesia adalah Islam sosiologis dan statistik bukan Islam secara ideologis. Hal ini kian menjadikan estimasi parpol Islam semakin tidak relevan. Sehingga, wajar saja jika kemudian adagium "Islam Yes, Partai Islam No" yang sempat menggema di era Orde Baru akan semakin menggeliat pada dekade pertama era reformasi ini.


Dus, sebagai konstituen, Anda tentu bebas menentukan pilihan. Yang terpenting adalah: Berusaha sekecil apapun demi menciptakan Indonesia yang adil, makmur dan berdaulat.


(tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Opini Detik.com, link: http://pemilu.detiknews.com/read/2009/04/05/132305/1110464/704/pemilu-2009-ironi-politik-partai-partai-islam)



*Koordiantor Kajian Al-Musat (Aliansi Muslim Moderat) Kairo Mesir

Zyz Ibrahim Syah

"...Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya..."

Begitulah gema teriakan semangat menggelora yang direkam oleh sembilan founding father bangsa dalam Preambule UUD '45. Sejatinya, Indonesia adalah bangsa yang sangat menjunjung tinggi nilai dan harkat kemanusiaan tanpa melihat latar belakang suku, ras, agama dan asal daerahnya. Semua warga negara –tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan- memiliki hak yang sama untuk dapat hidup terhormat. Pancasila adalah bukti konkretnya. Bahkan, spirit nilai kemanusiaan yang terbungkus dalam adagium Humanisme harus tetap diletakkan di atas segalanya, termasuk di atas pluralitas agama. Sikap seperti ini sangatlah penting agar integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh terjaga.

Sungguh bukan semboyan belaka jika kemudian Partai Demokrat (PD) yang berdiri pada 9 September 2001 menyadari pentingnya Nasionalisme bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan pernah dan tidak akan mungkin menjadi apa-apa tanpa semangat Nasionalisme. Pasalnya, Indonesia memang terlalu rumit untuk dapat membentuk sebuah "nation". Ada lebih dari 13.000 pulau dan 300 bahasa daerah yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Namun buktinya, itu semua ternyata bukanlah sederet masalah jika Nasionalisme menjadi platform paradigma kebangsaan kita.

Tidak sampai disitu, Partai Demokrat juga sangat menyadari bahwa Nasionalisme hanya akan menjadi pepesan kosong tanpa disertai etika, tatakrama dan akhlaqul karimah. Nasionalisme bukanlah sebuah sikap fanatisme (ta'assub) bangsa yang membabi buta dan berusaha menjatuhkan eksistensi bangsa lain. Oleh karenanya, sikap pembelaan dan perlindungan terhadap bangsa dengan tanpa mengindahkan etika hanya akan membuahkan kolonialisme, bukan Nasionalisme.

Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat, Pada Bab I Pasal 3, dijelaskan bahwa jati diri PD adalah Nasionalis-Religius, yaitu kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta memperhatikan aspek Humanisme, Nasionalisme, dan Pluralisme dalam rangka mencapai tujuan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat. Berangkat dari uraian di atas, tulisan ini akan berusaha membedah jati diri partai dengan sedikit memberikan interpretasi melalui pendekatan agama tertentu (baca: Islam). Tentunya, semangat ini tanpa ada upaya untuk mempolitisir konten agama manapun. Namun, sekedar berusaha untuk meyakinkan konstituen bahwa visi dan misi yang diemban partai sarat dengan nalar ideologis dan pijakan yang bisa dipertanggungjawabkan.


Nasionalis-Religius

Menjadi nasionalis tulen bukan berarti anti-agama. Demikian pula sebaliknya, menjadi muslim yang taat bukan berarti anti-Nasionalisme. Label "anti-agama" yang kerap dituduhkan oleh sebagian genre muslim kepada orang-orang yang berpendirian Nasionalisme adalah sebuah mafhum mukhalafah yang keliru. Al-Maududi (1930-1979) misalnya, selalu bersikap skeptis terhadap Nasionalisme yang dianggapnya sebagai akar pemecah-belah umat dan dapat mensubordinasi Islam. Sebagai seorang muslim, saya melihat bahwa hubungan antara Islam dengan Nasionalisme tidak mesti bersifat diametral. Nasionalisme yang baik justru menjadi konsekwensi logis bagi seorang muslim yang taat. Karena Nasionalisme dalam arti mencintai tanah air (hubbul wathan), mensejahterakan rakyat dan mempertahankan kesatuan negara justru menjadi bagian tak terpisahkan dalam Islam.


Pluralisme

Semangat Pluralisme menjadi platform penting bagi Partai Demokrat. Pluralitas bangsa Indonesia disadari betul sebagai sebuah kekayaan sosial dan budaya menuju pembelajaran politik yang trans-suku, trans-daerah dan trans-agama tanpa mengenal diskriminasi dalam konteks apapun. Pluralitas adalah sebuah keniscayaan hidup di dunia. Karenanya, jauh-jauh hari Allah SWT mengingatkan manusia dalam firmannya:

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal..." (QS. Al-Hujurat : 13)

Walhasil, manajemen keragaman yang ada pada bangsa ini ternyata mampu melibas penjajah melalui semangat Bhinneka Tunggal Ika. Tentunya, tugas memenej karagaman bukan dengan menyeragamkan yang beragam, tetapi menyatukan visi dari kekuatan yang beragam dengan berupaya untuk mentransformasikan hal-hal positif dari berbagai background paradigma dan ideologi pemikiran.


Humanisme

Selain Pluralisme dan Nasionalisme, Humanisme juga menempati posisi yang tinggi dan sangat dihormati dalam wawasan kebangsaan Partai Demokrat. Humanisme diinterpretasikan sebagai wujud penghormatan harkat dan martabat manusia sebagai warga negara. Adagium ini berusaha untuk menghormati hak-hak asasi manusia yang merdeka untuk dapat bebas menjalankan aktivitas sosial, politik dan ekonomi. Karenanya, tidak berlebihan kiranya, jika Muhammad Arkoun dalam bukunya "Rethingking Islam" menyebutkan bahwa Islam adalah agama paling lengkap yang menjelaskan kompleksifitas nilai-nilai Humanisme substantif bagi peradaban manusia. Lanjutnya, Islam adalah sebuah agama pembebasan yang pada masa lahirnya terus berusaha melawan mainstream jahiliyah yang kontra-pembaharuan dan kental dengan nuansa anti-Humanisme. Hal ini terbukti dengan rendahnya martabat seorang perempuan. Konsep Humanisme sendiri senada dengan firman Tuhan:

"Sungguh, telah Kujadikan manusia dalam keadaan/susunan sebaik-baiknya (ahsan taqwim)" (QS. At-Tien :4)

Dan sesungguhnya telah Kami Muliakan anak-anak Adam..." (QS. Al-Isra : 70)


Humanisme yang diterjemahkan sebagai wawasan kebangsaan demi menghargai harkat dan martabat manusia juga dikejawantahkan dalam Pancasila, tepatnya pada sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Melalui nalar ideologis dan pijakan di atas, Partai Demokrat berusaha untuk terus memberikan persembahan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Partai Demokrat bercita-cita untuk terus mempertahankan konsep NKRI yang menjadikan UUD '45 dan Pancasila sebagai landasan negara. Sekali lagi, ini bukan berarti PD tutup mata terhadap ajaran-ajaran keagamaan. Justru sebaliknya, substansi nilai-nilai kegamaan yang hadir dalam akhlaqul karimah menjadi penuntun dalam berpolitik, berbangsa dan bernegara. Transformasi nilai-nilai keagamaan, kesukuan dan kedaerahan akan terus diperjuangkan oleh Partai Demokrat demi menuju Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


(Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Platform Jurnal Demokrat Terkini edisi April 2009, sebuah jurnal terbitan Partai Demokrat DPLN Mesir)

Zyz Ibrahim Syah

Akhir bulan Januari lalu, telinga saya panas memerah. Tentu saja bukan karena terpercik minyak atau air panas. Berita tentang fatwa haram golput (golongan putih) lah yang membuat hati saya terbakar. Sebagai orang Islam, sontak saya merasa tak terima mendengar fatwa garapan MUI itu. Saya langsung bersikap sinis dan curiga. Bahkan juga sempat ngedumel dan bersumpah-serapah. Saat itu, susunan urat saraf dikepala pun langsung memberikan konklusi: ini adalah fatwa politik di tahun politik.


Saya sempat membaca headline salah satu media online, jika fatwa haram golput ini diproduksi oleh MUI dalam sidang pleno ijtima' ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di Padang Panjang Sumatera Barat, Ahad 25 Januari 2009. Ternyata, fatwa ini hadir satu paket dengan fatwa haram rokok yang juga menuai kontroversi.


Mencermati kronologi lahirya fatwa golput, pernyataan MUI ini bak palu godam yang hendak "meremukkan" Gus Dur. Mantan presiden RI ke-4 inilah yang dulu sempat gencar mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak memberikan hak pilihnya dalam pemilu. Memang, sikap Gus Dur hanyalah reaksi dari kedzhaliman yang coba memberangus karir politiknya. Beberapa waktu setelah itu, Hidayat Nur Wahid (HNW) seakan menjadi pahlawan yang hendak ­"menusuk" Gus Dur. HNW yang minta MUI mengeluarkan fatwa haram golput ternyata dikabulkan.


Hughh, jujur, saya BT. Pusing melihat para elit politik muslim yang bermanuver saling tikam. Kasihan rakyat. Mereka hanya dijadikan sebagai alat politik penguasa.


Eitth, tunggu dulu, saya berharap Anda tidak salah sangka. Saya sedang tidak memprovokasi massa Gus Dur (NU) dengan massa PKS. Bukan itu masalahnya. Benang merah yang sebenarnya adalah tentang betapa mirisnya nasib Islam yang tidak jarang terseret-seret masuk ke dalam pagar politik praktis. Mungkin kita masih ingat, pasca pemilu legislatif (pileg) 1999 lalu, Megawati Soekarno Putri sempat "ditelanjangi" oleh para politisi Islam yang tergabung dalam Poros Tengah pimpinan Amin Rais melalui fatwa haramnya kepemimpinan seorang perempuan. Fatwa ini pun berlalu begitu saja. Kadaluwarsa. Maklum, ini semua hanyalah fatwa pesanan yang coba "memperkosa" teks-teks sakral keagamaan.


Sekali lagi, miris memang, dalam peta politik nasional, Islam sering dijadikan umpan oleh partai-partai Islam. Dalam kacamata hukum positif saja, fatwa golput MUI jelas melanggar undang-undang yang menyatakan jika memilih dalam pemilu adalah hak, bukan kewajiban. Melalui logika awam, tentu saja meninggalkan hak adalah sikap yang sah-sah saja. Tidak berdosa. Artinya, golput karena tidak datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) bukanlah suatu perbuatan dosa yang mengantarkan ke neraka. Kenyataan ini justru bertentangan dengan silogisme fatwa haram golput MUI yang kontraproduktif.


Seharusnya, sebelum mengeluarkan fatwa haram golput ini, MUI melakukan riset secara teliti tentang alasan mengapa banyak masyarakat yang memilih golput. Saya yakin, ada banyak alasan dibalik golput. Ada yang benci dengan sikap wakil rakyat yang tidak memperjuangakn aspirasinya. Ada yang kecewa dengan gelagat partai-partai berhaluan Islam. Ada yang muak dengan skandal wakil-wakil rakyat dan ada pula yang memang tak terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap).


Kita memang harus menerima kenyataan. Beginilah nasib Islam yang coba di tarik-tarik ke dalam pentas politik praktis bernuansa pragmatis. Dalam politik, Islam lebih mirip shuttlecock (kok) dalam pertandingan bulu tangkis. Dalam permainan itu, shuttlecock hanya bersikap pasrah untuk siap "ditampar" kesana kemari sesuai keinginan dan kenyamanan sang pemain.

Terakhir, saya teringat dengan apa yang pernah ditulis oleh John L. Esposito dalam Islam and Politic (2002). Dalam salah satu pembahasan, John mengutip: "Agama adalah palu godam paling ampuh untuk memberangus rival politik sekaligus menjadi gula paling manis untuk menebarnya dibalik janji-janji kampanye."


Dus, semakin dekatnya pileg dan pilpres, kita lihat, mungkin saja akan ada lebih banyak konten agama –terutama Islam- yang diseret demi membentengi kepentingan partai tertentu. Karenanya, umat Islam harus lebih cerdas.


Zyz Ibrahim Syah*

Zyz Ibrahim Syah
Selalu saja ada hal menarik jika kita membicarakan masa depan politik Indonesia. Ketertarikan ini akan semakin "wah" jika kita mencoba untuk mengkorelasikan politik dengan Islam. Karena, dalam terma politik, Islam bisa menjadi "bunglon". Paling tidak Islam kemudian berubah fungsi dan beranak pinak menjadi dualisme kontradiktif. Islam sebagai agama dan Islam sebagai kendaraan kepentingan politik.

Di Indonesia diskursus Islam politik memang sangat fluktuatif sepanjang sejarah. Namun, penulis memprediksi jika diskursus ini akan terus mencuat seiring semakin dekatnya pemilu 2009.

Sejarah mencatat ketika Islam dijadikan sebagai kendaraan politik yang multi-kepentingan. Maka politisi Islam kemudian mampu melahirkan PPP, PKS, PSI, PBR, PBB dan partai Islam lainnya. Menggeliatnya partai-partai Islam di Indonesia memang sebuah keniscayaan.

Bagaimana tidak. Arsitek partai Islam dengan jeli melihat potensi konstituen muslim yang mendominasi rakyat Indonesia. Sehingga mereka beranggapan bahwa partai Islam adalah partai yang trendy, relevan, dan layak jual. Dan tanpa rasa malu-malu dengan dalih agama untuk selalu memprioritaskan maslahat rakyat.

Kemudian founding father partai Islam ini pula berteriak bahwa penegakkan (formalisasi) syariat Islam adalah sebuah keharusan. Isu amandemen Pancasila dan UUD 45 agar kembali ke khittah piagam Jakarta pun terus didengungkan.

Intinya di saat yang bersamaan simbol-simbol Islam mengalami eksploitasi politik. Maka bukan rahasia lagi jika kemudian mereka menggandeng figur-figur fundamentalisme radikalisme Islam seperti Abu Bakar Ba'asyir dan Habib Rizieq Syihab yang dikenal aktif mengusung relokasi ideologi dan landasan ideal Indonesia sebagai mitra politik grassroot. Tampaknya penelitian yang dilakukan Olivier Roy dalam bukunya L'ichec de I'slam Politique (1992) tentang multi kegagalan Islam politik tidak terlalu berpengaruh bagi para politisi muslim kita.

Penulis sedang tidak berhasrat untuk membahas secara eksplisit kesalahan interaksi sosial-politik partai Islam yang mengusung formalisasi syariat Islam. Penulis hanya ingin sedikit mengkritisi wacana dan upaya politisi Islam dan kaum fundamentalis feodalisme teks keagamaan untuk mengubah ideologi negara dari Pancasila ke syariat Islam.

Hal ini penting dikemukakan. Penulis tidak tega. Sungguh tidak tega jika Islam sebagai agama rahmatan lil'alamiin dikebiri dan dikotak-kotakkan menjadi sebuah agama yang punya label dan formalitas politik. Dalam artian jika Islam dijadikan sebagai ideologi negara maka yang terjadi kemudian adalah sebuah proses fragmentasi agama.

Seburuk apa pun sikap dan kebijakan pemerintah jika syariat Islam diformalisasikan akan selalu menjadi legitimasi dan justifikasi politik penguasa. Dalam tataran ekonomi kenaikan BBM dan sembako akan menjadi hal yang dianggap lumrah dan harus diterima masyarakat sebagai kebijakan negara Islam.

Dalam tataran pendidikan gerakan pemikiran yang berlawanan dengan mainstream dan madzhab negara akan dengan mudah dipatahkan dengan dalih agama. Sehingga sikap kepala negara acap kali diterjemahkan sebagai keputusan dan otoritas Tuhan. Inilah yang sedang terjadi di negara Afghanistan Thaliban dan Sudan yang mengklaim sebagai representatif negara Islam berasaskan syariat. Stereotip ini muncul karena ideologi negara adalah image sebuah bangsa.

Penulis sedang tidak menolak apalagi "alergi" terhadap syariat Islam sebagai landasan ideal kaum muslimin. Penulis hanya menolak upaya untuk menjadikan syariat Islam sebagai sebuah "hukum jadi" tanpa filtrasi konteks kebangsaan yang majemuk seperti Indonesia.

Hal ini perlu diperhatikan mengingat Al Quran dan as-Sunnah sendiri sangat multi-interpretatif untuk dijadikan sebagai sumber ideologi bangsa yang sarat nuansa politik. Di samping itu formalisasi syariat Islam juga akan dimanfaatkan menjadi "palu godam" penguasa bagi rival politik mereka. Walhasil, image Islam akan menjadi "babak-belur".

Seharusnya kita membentangkan Islam sebagai sebuah tata nilai universal yang moderat dan rahmatan lil'alamin serta terbebas dari keterkungkungan ranah partai politik mana pun. Dalam artian formalisasi syariat akan lebih tepat jika diganti dengan transformasi syariat.

Transformasi syariat yang dimaksud penulis adalah upaya untuk menerjemahkan hukum-hukum Islam ke dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan lalu mengartikulasikannya ke dalam hukum positif negara. Pada posisi ini Indonesia tidak perlu berubah menjadi negara teokrasi.

Dengan demikian negara menganggap sah-sah saja jika seorang muslim menjalankan amanah syariah sebagai hukum private kaum muslim. Bahkan, negara wajib memfasilitasi dan mengayomi agar umat muslim dan umat beragama lainnya dapat menjalankan perintah agamanya masing-masing. Menurut penulis transformasi syariat perlu disuarakan agar kita tidak terjebak pada dilema Arabisasi yang "karatan".

Diskursus transformasi syariah memang pernah disinggung oleh politisi PBB Yusril Ihza Mahendra. Namun, spirit epistemologi syariah transformatif sebenarnya lebih dulu diteriakkan oleh Mustafa Kemal Ataturk dalam pidato fenomenalnya di parade ANZAC Canberra. Lebih lanjut ia membahasnya secara ilmiah dalam Vatan ve Hurriyet.

Dalam transformasi syariah syariat Islam tidak diposisikan sebagai ideologi atau dasar negara. Tapi, syariat Islam diinterpretasikan sebagai kaidah-kaidah atau sumber hukum alternatif bagi sebuah negara. Hal ini perlu diperhatikan mengingat hukum Islam itu sendiri memiliki berbagai macam variabel: Privat dan publik. Sehingga pada akhirnya melalui adagium syariah transformatif demi mempertahankan
NKRI, "Republik Indonesia" tidak perlu diubah menjadi "Republik Islam Indonesia".

Dialektika Islam politik seperti dikatakan Muhammad Imarah dalam karyanya al-Islam wa as-Siyasah (2002), harus terus difikirkan umat Islam sepanjang generasi. Jujur,
coretan singkat ini lahir dari relung hati yang paling dalam sebagai sebuah sikap keprihatinan penulis belakangan ini.

Penulis melihat ada semacam geliat trend dan "hobi" berpolitik praktis melalui partai tertentu –-terutama partai-partai Islam, di tengah komunitas pelajar dan mahasiswa yang plural. Namun, sayangnya kecenderungan ini seringkali tidak berbanding lurus dengan pemahaman universal yang lebih substansial.

Walhasil bukan tidak mungkin sebuah partai kemudian menjelma jadi neo-madzhab keagamaan yang penuh ke-'aku'-an. Lebih akut lagi bagi mereka Islam dan politik sering kali diterjemahkan sebagai dua mata uang logam: berjalan seiring sepenanggungan. Padahal, sungguh tidak demikian.