Zyz Ibrahim Syah

Akhir bulan Januari lalu, telinga saya panas memerah. Tentu saja bukan karena terpercik minyak atau air panas. Berita tentang fatwa haram golput (golongan putih) lah yang membuat hati saya terbakar. Sebagai orang Islam, sontak saya merasa tak terima mendengar fatwa garapan MUI itu. Saya langsung bersikap sinis dan curiga. Bahkan juga sempat ngedumel dan bersumpah-serapah. Saat itu, susunan urat saraf dikepala pun langsung memberikan konklusi: ini adalah fatwa politik di tahun politik.


Saya sempat membaca headline salah satu media online, jika fatwa haram golput ini diproduksi oleh MUI dalam sidang pleno ijtima' ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di Padang Panjang Sumatera Barat, Ahad 25 Januari 2009. Ternyata, fatwa ini hadir satu paket dengan fatwa haram rokok yang juga menuai kontroversi.


Mencermati kronologi lahirya fatwa golput, pernyataan MUI ini bak palu godam yang hendak "meremukkan" Gus Dur. Mantan presiden RI ke-4 inilah yang dulu sempat gencar mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak memberikan hak pilihnya dalam pemilu. Memang, sikap Gus Dur hanyalah reaksi dari kedzhaliman yang coba memberangus karir politiknya. Beberapa waktu setelah itu, Hidayat Nur Wahid (HNW) seakan menjadi pahlawan yang hendak ­"menusuk" Gus Dur. HNW yang minta MUI mengeluarkan fatwa haram golput ternyata dikabulkan.


Hughh, jujur, saya BT. Pusing melihat para elit politik muslim yang bermanuver saling tikam. Kasihan rakyat. Mereka hanya dijadikan sebagai alat politik penguasa.


Eitth, tunggu dulu, saya berharap Anda tidak salah sangka. Saya sedang tidak memprovokasi massa Gus Dur (NU) dengan massa PKS. Bukan itu masalahnya. Benang merah yang sebenarnya adalah tentang betapa mirisnya nasib Islam yang tidak jarang terseret-seret masuk ke dalam pagar politik praktis. Mungkin kita masih ingat, pasca pemilu legislatif (pileg) 1999 lalu, Megawati Soekarno Putri sempat "ditelanjangi" oleh para politisi Islam yang tergabung dalam Poros Tengah pimpinan Amin Rais melalui fatwa haramnya kepemimpinan seorang perempuan. Fatwa ini pun berlalu begitu saja. Kadaluwarsa. Maklum, ini semua hanyalah fatwa pesanan yang coba "memperkosa" teks-teks sakral keagamaan.


Sekali lagi, miris memang, dalam peta politik nasional, Islam sering dijadikan umpan oleh partai-partai Islam. Dalam kacamata hukum positif saja, fatwa golput MUI jelas melanggar undang-undang yang menyatakan jika memilih dalam pemilu adalah hak, bukan kewajiban. Melalui logika awam, tentu saja meninggalkan hak adalah sikap yang sah-sah saja. Tidak berdosa. Artinya, golput karena tidak datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) bukanlah suatu perbuatan dosa yang mengantarkan ke neraka. Kenyataan ini justru bertentangan dengan silogisme fatwa haram golput MUI yang kontraproduktif.


Seharusnya, sebelum mengeluarkan fatwa haram golput ini, MUI melakukan riset secara teliti tentang alasan mengapa banyak masyarakat yang memilih golput. Saya yakin, ada banyak alasan dibalik golput. Ada yang benci dengan sikap wakil rakyat yang tidak memperjuangakn aspirasinya. Ada yang kecewa dengan gelagat partai-partai berhaluan Islam. Ada yang muak dengan skandal wakil-wakil rakyat dan ada pula yang memang tak terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap).


Kita memang harus menerima kenyataan. Beginilah nasib Islam yang coba di tarik-tarik ke dalam pentas politik praktis bernuansa pragmatis. Dalam politik, Islam lebih mirip shuttlecock (kok) dalam pertandingan bulu tangkis. Dalam permainan itu, shuttlecock hanya bersikap pasrah untuk siap "ditampar" kesana kemari sesuai keinginan dan kenyamanan sang pemain.

Terakhir, saya teringat dengan apa yang pernah ditulis oleh John L. Esposito dalam Islam and Politic (2002). Dalam salah satu pembahasan, John mengutip: "Agama adalah palu godam paling ampuh untuk memberangus rival politik sekaligus menjadi gula paling manis untuk menebarnya dibalik janji-janji kampanye."


Dus, semakin dekatnya pileg dan pilpres, kita lihat, mungkin saja akan ada lebih banyak konten agama –terutama Islam- yang diseret demi membentengi kepentingan partai tertentu. Karenanya, umat Islam harus lebih cerdas.


Zyz Ibrahim Syah*

0 Responses