Zyz Ibrahim Syah

Gw...
Gw lagi bingung...
Gw selalu gelisah...
Gw jadi serba salah...
Gw gak tau ini kenapa...
Hughh...

DIA...
DIA begitu indah...
DIA anggun...
DIA manis...
DIA smart...
DIA cheerful...
DIA lucu..., much attache...
DIA bikin Gw salah tingkah...

Saat pertama kali mata memandang, hati ini sudah berkata lain. Hatiku kemudian memerah. Merah jambu.

Senyumnya, tawanya, candanya, telah terekam kuat di hati. Membuat hari-hariku tawar tanpanya.

Emang sich, ini bukan yang pertama. DIA juga bukan orang pertama yang singgah dan mengetuk hati ini. Tapi kali ini lain. DIA berbeda. Beda dari yang lain. DIA bukan RW (alm.). DIA bukan Q2 (alm.). Dan, DIA juga bukan Ch. DIA adalah DIA. DIA hanyalah DIA. Dan DIA akan tetap DIA.

Sekarang, Gw makin bingung. Apa ini yang disebut "CINTA"...?!. Kalo ya, Gw yakin ini cuma cinta monyet (monyet ko' disalahin...cinta cinta aje...hehehe...). Gw yakin kalo Gw gak suka ma DIA...Gw berusaha mengelak. Membohongi diri. Tapi, perih.

Kadang, Gw mikir: Kadang-kadang, cinta (hhmmm..., kalo emang ini cinta...) itu bunga. Cinta itu pelangi. Cinta itu pagi. Cinta itu gerimis. Namun, cinta juga belati. Cinta juga pisau. Cinta juga luka. DIA bikin Gw dapet semua. Semua tipe cinta. (hehehe... sok roman...).

Gw gak ambisius. Gw gak mau DIA tau kalo Gw bener-bener sayang. Biarlah. Gak apa-apa. Gw ngerasa cukup untuk jadi pengagumnya. Bukannya Gw pengecut, banci atau ungentle. Bukan. Bukan begitu. Gw Cuma berusaha untuk hidup di dunia nyata. Bangun dari mimpi. DIA itu langit. Gw cuma sumur (kedaleman nggak yach...? hehehe...). DIA terlalu mahal untuk Gw yang amat murah. Intinya, Gw selalu berusaha untuk mencubit pipi. Kembali ke dunia nyata. Nyadar.
Masih tentang DIA. Satu lagi yang paling penting: Gw gak mau DIA tahu kalo Gw bener-bener sayang sama DIA. Gw gak mau DIA terganggu. Ngeganggu belajarnya. Gw berharap DIA belajar dengan baik, tekun dan sungguh-sungguh disini. Gw gak mau DIA ada dalam eksentrik cita-citanya. Gw mau DIA sukses. Gw mau DIA jadi orang hebat. Gw berharap DIA bisa ngebahagiain ortunya. DIA mungkin nganggap Gw angin lewat. Mungkin juga cuma sampah. Tapi, Gw gak akan pernah bosen untuk bermunajat kepada Sang Pencipta: Ya Rabb, semoga Kau selalu melindunginya. Semoga Engkau selalu memberikan kesehatan untuknya. Semoga Engkau melimpahkan rahmat, nikmat dan karunia-Mu untuknya. Semoga DIA menjadi perempuan yang sholehah. Semoga DIA menjadi Khodijah. Semoga DIA menjadi 'Aisyah. Semoga DIA menjadi Ummu Salamah. Semoga. Aku yakin dia bisa. Aku yakin DIA juga yakin. (hehehe... sok yakin....)

Ya Rabb, terima kasih Kau telah memberiku rasa indah untuknya. Saking indahnya, rasa ini terlalu sulit terdeskripsi melalui rangkaian kata dan baris. Aku bersyukur telah mengenalnya. Sedikit tahu tentangnya. Aku tahu ini nikmat-Mu yang agung. Biarlah, aku merasa cukup untuk jadi pengagumnya. Sekali lagi, bukan karena aku pengecut. Aku hanya berusaha untuk menghormatinya. Menghormati cita-citannya. Menghormati tujuan suci murninya datang kesini: ke Negeri Musa. Aku tak ingin persahabatan ini raib ditelan cinta yang salah. Jika itu terjadi, sungguh aku tak rela. DIA itu pohon. Aku tak ingin jadi benalu, membentuk simbiosis parasitisme. Semoga DIA tetap ceria, tetap tersenyum dan tetap tertawa ria.

Sebelum menutup tulisan super ringan ini, Gw mencatat satu hal: Gw gak akan pernah mengemis cintanya. Yang justru Gw bakal lakukan adalah sebaliknya: Gw janji, suatu saat nanti, jika DIA adalah rembulan, Gw akan jadi langitnya. Jika DIA adalah bunga, Gw akan jadi kumbangnya. (so' puitis...hehehe...). DIA, saat ini, menjadi salah satu pompa semangat wat Gw. Semangat merevolusi diri, merevolusi hati, kemudian melambung tinggi dengan prestasi. Gw yakin Gw bisa. "Yes, We Can". Begitu kata capres Amerika yang juga senator asal Illionis, Barack Obama. Ini hanya optimisme. Sebuah munajat. Munajat cinta.
NB: Betewe, di akhir tulisan ini, Gw jadi heran. Gw ketawa sendiri. Asli, tulisan ini jelek pisan euy... Tapi, ko' Gw kadang-kadang bisa puitis juga yach...? hehehe... Puitis abal-abal... Puitis gadungan... Yang bikin Gw tambah bingung, diatas ada dua kata berbeda yang seharusnya sama : Gw dan Aku. Hehehe. Maklum dech... Kalo lagi curhat, emang suka nggak konsen euy. Malisy, gak biasa curhat Bung, Mas, Mba, Mpo, Teteh, Akang...
Udah dulu ach...cape neh... mo tidur...

Tulisan ini terinspirasi + 90 menit setelah Gw lewat sebuah perkampungan di sudut kota Cairo. Once (vokalis DEWA), dengan hitsnya 'Aku Mau' juga ikut mengiringi. Romantis?! Boro-boro. Justru sebaliknya: tragis!. Hehehe...
Zyz Ibrahim Syah
Terus terang, dua minggu terakhir ini aku bingung. Aku malu. Aku malu sebagai orang berpaspor hijau tua bergambar garuda. Seakan negeri ini tak punya identitas. Absurd. Plin-plan. 'Culun'. Huggh, cabe dech!.

Dulu, ketika aku duduk di bangku sekolah dasar yang berdebu, aku begitu bangga pada bangsa ini, aku bangga pada guruku, aku bangga pada diriku sendiri. Serius. Aku ingat betul pada Bu Maryam, guruku di kelas I SD, beliau tak pernah bosan meyakinkan kami bahwa Indonesia adalah negeri yang sopan, santun dan murah senyum. Yah, aku ingat betul akan hal itu. Membuatku bernostalgia indah. Melegakan. Membanggakan.

Demokrasi? Ketika duduk di kelas 6, aku memang tak tahu banyak tentang demokrasi. Kata ini saja baru aku dengar saat itu. Kata yang begitu asing buatku. Yang aku tahu, demokrasi selalu identik dengan peristiwa Mei '98. Saat Soeharto hengkang dari Istana, di Jalan Veteran. Saat itu, Aku pun merasa tak perlu mencari tahu apa arti demokrasi. Aku merasa cukup dengan obrolan ringan bapak-bapak tua yang kongkow di kedai-kedai kopi di desaku. Memang, bapak-bapak tua itu bukanlah ahli hukum, bukan sarjana, bukan siapa-siapa. Mereka hanyalah pekerja keras di sawah. Tapi, mereka juga sama yakinnya denganku, jika demokrasi adalah sebuah ungkapan untuk mengenang bubarnya rezim Orde Baru.

Namun, belakangan aku sedikit tahu tentang demokrasi. Secuil saja. Hehehe. Hebat, demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan jempolan. Sistem inilah yang akan memberangus otoriterianisme, diktatorisme dan pemerintahan tirani. Dengan demokrasilah, persamaan hak dan martabat manusia bisa diwujudkan. Demokrasi akan melahirkan egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan). Ia memang dipopulerkan Barat. Tapi, secara substansial, aku menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Pantas saja Indonesia begitu bangga menyandang predikat negara demokrasi. Tidak tanggung-tanggung, pada tahun 2005, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling demokratis ketiga di dunia setelah Amerika dan Kanada. Organisasi yang memberikan penyematanpun bukan organisasi main-main, bukan organisasi kacangan: Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC). IAPC adalah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia. Aku juga sempat membaca beritanya pada salah satu headline surat kabar elektronik. Aku pun tersenyum bangga. Aku bangga sebagai orang Indonesia. Aku bangga sebagai anak bangsa.

Bumi memang tak bisa lepas dari rotasi orbitnya. Ia selalu rutin berrevolusi menjelajahi matahari. Ini hukum alam. Demikian juga dengan Indonesiaku, dengan demokrasiku. Indonesiaku telah berubah. Sekarang aku tak bangga ketika orang-orang seantero jagad raya memuja Indonesia sebagai negeri demokratis. Bahkan, aku malu. Teman, jujur aku sangat malu. Serius!. Ini semua bukan tanpa alasan. Hal ini bertolak dari sebuah tragedi memalukan sebagai sebuah bangsa. Tragedi Monas 1 Juni kemarin. Buatku, tragedi berdarah itu tak lebih dari sebuah pagelaran "acakadut bin sontoloyo". Seperti yang anda tahu, sejumlah massa berjubah putih menghantam beberapa orang dengan seruan "Allahu Akbar". Dengan dalih iman, mereka bertindak seperti preman. Aku tidak habis pikir, mengapa mereka bisa bertindak segeram itu. Inikah yang dinamakan Islam? Inikah yang disebuat rahmatan lil 'alamin?. Hugghh, mereka membisu!. Aku memang tidak melihat kejadian tersebut secara langsung di TV. Aku hanya bisa menyaksikannya lewat video downloadan dari Youtube. Jujur, aku miris. Dahiku tak berhenti berkerut. Beberapa orang dari masa FPI (Front Pembela Islam) dan KLI (Komando Laskar Islam) terlihat sadis menghantam masa AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan). Mereka menghujamkan pukulan, tendangan bahkan menggebukkan bambu bendera dan TOA speaker kepada beberapa orang. Mengerikan. Menyedihkan. Memalukan.

Sejarah mencatat, hari itu menjadi hari peringatan Pancasila paling ironis. Beberapa media lokal tanah air menyebut peristiwa kekerasan Monas itu sebagai "Insiden Monas", ada juga yang menyebutnya "Tragedi berdarah 1 Juni". Namun, aku lebih puas menyebutnya sebagai "Hari Demokrasi Mati". Bagiku, ketika perbedaan diselesaikan dengan kekerasan dan polisi tidak bertindak tegas terhadap aktornya, maka demokrasi sebenarnya sudah mati. Kekerasan akan berbalas kekerasan. Korban akan berjatuhan, luka atau tewas. Dan, masyarakat akhirnya ada dalam kekacauan. Kekacauan adalah pertanda demokrasi sudah mati.

Jujur, aku bukan supporter Ahmadiyah. Swerr dech!. Bahkan, aku sangat setuju jika organisasi sesat kelahiran 1925 ini dibubarkan. Aku setuju dengan Soekarno yang berani menolak Ahmadiyah. Aku juga sependapat dengan Muhammad Iqbal yang tidak mempercayai Mirza Ghulam sebagai mujaddid, apalagi sebagai nabi. Terlebih, aku sangat menghargai hasil observasi Bakorpakem yang memvonis sesat Ahamadiyah. Memang, JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) telah menodai Islam. Telah mengobrak-abrik keyakinanku. Mencabik-cabik imanku. Sebuah hal paling fundamental bagiku, bagi umat Islam. Mereka telah berupaya untuk menyakiti perjuangan Rasulullah SAW tercinta. Perjuangan para sahabat dan tabi'in.

Namun, bukan berarti aku setuju dengan langkah geram FPI cs. Bagiku, mereka tetap saja salah. Tindakan anarkis mereka harus dibawa ke meja hijau. Sekali lagi, dengan dalih iman, mereka bertindak seperti preman. Dengan dalih Ahmadiyah, mereka melukai segelintir orang. Negara harus tegas!. Sebagai pentolan, Habib Rizieq dan Munarman harus bertanggungjawab. Kalau perlu, BUBARKAN SAJA FPI!. BUBARKAN JUGA AHMADIYAH!. Negara ini negara hukum Bung, bukan negeri rimba!. Semua warga negara tidak bisa bertindak semau gue dalam menyelesaikan masalah. Dengan alasan apapun, tidak boleh ada milisi sipil. Tidak boleh ada anarkisme. Negeri ini akan kacau-balau. Ingat, Negeri ini negeri beradab, bukan negeri biadab. Negara harus menunjukkan taringnya. Negara tidak boleh kalah dengan kekuatan kelompok manapun, termasuk Islam radikal. Titik segede kelapa!.

Dalam kasus ini, pemerintah SBY juga harus tegas. Jangan bersikap letoy dan banci!. Pelaku kekerasan Monas harus diproses secara hukum. Ahmadiyah pun demikian, walaupun Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri telah kelar, bukan berarti pemerintah lantas lepas tangan. Disatu sisi, pemerintah harus tegas melarang ajaran ahmadiyah. Namun, disisi lain, pemerintah juga harus menjamin hak keselamatan hidup warga negaranya, tanpa pandang bulu, termasuk Ahmadiyah. Inilah demokrasi!.

Oh, ya Friend, tiga hari yang lalu, aku hampir saja berupaya menarik benang merah sebagai sebuah konklusi minor. Yang aku yakini, Indonesia bukanlah negeri demokrasi. Sebenarnya, kita belum siap untuk menjadi negara yang demokratis. Kita belum siap menyikapi sebuah perbedaan. Sikap primitif berkebangsaaan kita masih mendominasi segalanya. Sikap demokrasi Indonesia hanya bisa ditampilkan dalam ajang pilkada, pemilu dan pilpres saja. Menjadikan demokrasi sebagai sebuah sikap hidup bangsa yang dialogis, toleran dan menghormati HAM, Indonesia masih nol. Bagiku, hakikat demokrasi untuk bangsa ini memang telah mati.

Namun, kita harus ingat dan percaya diri, walaupun Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia bukanlah negara teokrasi. Ia terlalu plural untuk dijadikan sebagai negara agama. Siapa bilang Islam dan demokrasi bertentangan?!. Siapa bilang Islam dan Pancasila tak bisa hidup berdampingan?!. Itu hanyalah hipotase dan magnumopuse tak berkualitas dari seorang Samuel P. Huntington dan F. Fukuyama. Aku sangat yakin demokrasi berbanding lurus dengan spirit Islam. Sekali lagi, aku benar-benar yakin. Karenanya, jangan biarkan Indonesia hidup tanpa demokrasi. Karena ia akan mati. Jangan biarkan indonesiaku mati!. So, jangan biarkan demokrasi mati!. Hidup demokrasi!. Hidup Islam!. Setuju?!
Zyz Ibrahim Syah
Huuh, tulisanku jelek!. Aku selalu bergumam dan membatin demikian manakala sebuah tulisan telah aku rampungkan. Malunya bukan main, aku kerap mencibir, bahkan memaki diri ini di depan cermin. Maklum, cermin dengan ukuran 1 x 0,5 meter yang terpampang di salah satu sudut kamarku ini cukup membantu untuk selalu membuatku sadar. Yah, walaupun cuma sadar sambal. Hari ini sadar, besok nggak. Besok sadar, besok lusa kambuh. Huuhh. Cabe dech...!!!
Lho, kok jadi ngelantur. Kembali ke soal tulisanku yang super jelek ini, aku semakin malu dan tidak karuan. Sebetulnya, aku memiliki banyak hal yang ingin ditulis. Ada seribu ide yang tergagas. Ada sejuta pikiran yang ingin terekspresikan. Tapi, itu semua seakan nihil. Lagi-lagi nihil. Kandas disini. Di depan layar kaca berdebu berbentuk kubus 17 inchi bernama komputer. Aku sekan dibuatnya gugup tak berkata. Diam seribu bahasa. Bahkan mungkin, bukan seribu, tapi sejuta bahasa. Entahlah, mengapa aku bisa dibuatnya gila. Padahal ia hanyalah benda tak bernyawa. Tapi, itulah masalahnya, ketika tangan mulai 'genit' menyenggol keyboard, benda ini selalu membuyarkan ide-ide segar yang sesaat sebelumnya terpancar di otak kecilku. Ia selalu menjegal pikiran-pikiranku yang hendak aku ekspresikan lewat rangkaian kata berbaris. Tapi, lagi-lagi kandas. Lagi-lagi. Apa aku harus marah pada komputerku nan usang berdebu ini? Sayang, aku bukanlah orang gila!.

Tuhan, aku tahu ini bukanlah watakku. Aku bukanlah seorang yang mudah menyerah. Aku tahu betul siapa diriku sebenarnya. Aku yakin tak ada setitikpun mental 'looser' dalam jiwaku. Dan, tiba-tiba saja aku teringat dengan salah satu klub sepak bola kesayanganku: Manchester United. Buatku, klub asal Inggris ini 'gila'. Great. Wonderfull. Amazing!. The Red Devils, julukan klub ini, selalu membuat surprise setiap musim pagelaran di Premier League. Mereka kerap tampil hebat. Membuat warga Manchester dan supporter-supporternya bengkak bertepuk tangan. Terlebih selama dua musim belakangan, kegemilangan Cristiano Ronaldo, winger internasional asal Portugal ini bermain seperti 'setan'.

Namun, disini aku tidak berusaha untuk mengulas sepak terjang MU yang mampu menggondol dua buah trofi. Aku juga tidak bermaksud mendiskusikan strategi permainan, gol-gol, atau kualitas stadion Old Trafford. Tidak. Bukan itu. Terus terang, aku sedang teringat dengan semangat Sir Alex Ferguson, manajer MU, yang diawal musim 2007-2008 pernah mendeklarasikan kepercaya diriannya. Dalam sebuah jumpa persnya, Fergie mengatakan, "Yes, we can. We want to be a winner. We have good player. We have confidence". Gayanya meyakinkan. Seraya membangkitkan semangat anak asuhannya di Old Trafford. Walaupun ia sedang bermain sepak bola, tapi ia tidak main-main untuk main. Ia selalu percaya diri. Dan itu terbukti. Di akhir musim, ia berhasil membawa anak asuhannya menggondol dua trofi: Premier League dan Champion League. Selamat Fergie. Paling tidak, perjuangan Fergie membuatku sedikit terinspirasi. Ia mengajarkanku tentang arti sebuah percaya diri. Hehehe, buat yang nggak suka sama MU, sorry yach. Peace.

Balik lagi ke soal tulisanku yang tak bermutu. Hehehe. Aku yakin menulis itu tak perlu bakat. Yah, aku sangat yakin. Menulis hanya butuh ketelatenan, keseriusan dan enjoy. Aku membatin, mencoba meyakinkan diriku. Padahal, ini semua belum mampu menepis total keluhanku. Tapi, aku yakin aku bisa. "Yes, we can!", begitu kata Barack Obama. Yah, aku yakin suatu saat, sekarang atau nanti, aku pasti bisa menjadi seorang penulis hebat. Menulis yang baik, bermutu dan berkelas. Menulis yang aktif, imajinatif, progresif dan "if-if" yang lainnya. Aku yakin betul, suatu saat nanti aku bisa menuliskan desa tercintaku. Aku juga tak kalah yakin, suatu saat nanti aku pasti bisa menuliskan dunia ini dalam karyaku. Menjadi penulis yang briliyan. Yes, I can. Tunggu saja tanggal mainnya. Upps, tunggu dulu, ini bukan kesombongan. Kalo nggak salah, tetangga sebelah pernah bilang, "Lebih baik narsis daripada minder". Hehehe. Kepalaku mengangguk. Aku setuju!. Anda?!.
Zyz Ibrahim Syah
Sebagai salah seorang anggota IKPDN, penulis hendak menceritakan sedikit kegalauan hati yang sempat mandeg beberapa hari ini. Sebetulnya, tulisan ini kental dengan 'imajinasi subyektif'. Namun, penulis berharap, tulisan ini bisa dijadikan sebagai 'refleksi preventif' bagi penulis sendiri dan teman-teman IKPDN. Semoga!.

Berbicara tentang perempuan, takkan pernah ada habisnya. Bagaimana tidak, kaum hawa ini selalu menarik untuk diperbincangkan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Ia adalah salah satu makhluk terindah yang telah diciptakan Allah Swt. di dunia. Jika kita hendak menelusuri bibliotheca sejarah dunia perempuan, akan ada banyak figur fenomenal yang terekam. Namun secara makro, titik aksentasi tulisan singkat ini akan berfungsi sebagai 'kail' (bukan ikan!) yang akan melempar wacana seputar posisi perempuan dalam dinamika sejarah keterkungkungannya dari berbagai segregasi negatif.

Dewasa ini, berbicara tentang perempuan tak bisa dilepaskan dari diskursus feminisme dan isu gender yang cukup membosankan sekaligus mengasyikkan. Membosankan karena seakan wacana ini tak pernah menemui titik mufakat. Mengasyikkan karena wacana ini seakan terus mendapat jargon-jargon pemikiran baru yang lintas geografis, demografis bahkan lintas platform ideologis dan teologis sekalipun.

Posisi Perempuan dalam Lintas Sejarah
Secara global, status kedudukan perempuan dalam dimensi sosial dan politik sama sekali tidak mendapat jatah pada sejarah dunia masa lampau, masa sebelum Islam datang. Seperti dikutip Salim al-Bahansawi dalam bukunya Makânat al-Mar'ah bain al-Islâm wa al-Qawânîn al-'Alamiyah, kedudukan perempuan dalam berbagai kitab perundang-undangan (UU) sangatlah mengenaskan. Dalam UU China Kuno misalnya, al-Bahansawi mengutip Kitâb Hadhârât as-Shîn wa al-Yunân yang ditulis Wall Dewrant, terdengar sebuah adagium "Tak ada di dunia ini yang lebih rendah harganya dari perempuan". Dalam tradisi Yunani juga terdengar sebuah adagium "Kita menyewa perempuan-perempuan cantik itu demi kenikmatan, mengambil budak-budak perempuan itu sebagai pembantu rumah dan meminang istri-istri sebagai ibu yang sah dari anak-anak". Di India Kuno, UU Manao menegaskan posisi perempuan dalam pasal 148: "Masa kecil perempuan sepenuhnya berada ditangan sang ayah. Masa dewasanya berada ditangan suami. Jika suami meninggal, perempuan tersebut berada dibawah pengawasan anak-anaknya atau kerabat dekatnya. Jika ia tidak memiliki kerabat dekat, maka statusnya berada dibawah pengawasan pemerintah". Lebih parah lagi, UU Romawi menempatkan perempuan laiknya orang gila. Dalam UU Romawi (al-Alwâh al-Itsna al-'Asyariyah) di sebutkan: "Penyebab hilangnya hak kepemilikan ada tiga: karena ia adalah anak kecil, karena gila dan karena ia adalah seorang perempuan". Sebagai kitab UU tertua di dunia, UU Hamurabi juga memojokkan status sosial perempuan. Pada pasal 129, UU ini mengatakan: "Jika seorang perempuan menjadi terdakwa sebuah kasus perzinahan, namun seorang jaksa tidak meiliki bukti yang kuat, maka perempuan tersebut digiring kesebuah sungai dekat pengadilan untuk dilempar. Jika perempuan tersebut mengambang, maka perempuan itu dinyatakan tidak bersalah. Namun, jika ia tenggelam, maka perempuan itu dinyatakan berdosa". Al-Bahansawi juga mengutip Dewrant tentang status sosial perempuan di Eropa sebelum renaissance. Dewrant menjelaskan bahwa perempuan Eropa masa itu ibarat barang dagangan yang bisa diperjualbelikan dengan bebas. Inggris misalnya, pada tahun 1805 menjual perempuan muda dengan harga sekitar 500 poundsterling.

Dari sini bisa kita tarik benang merah bahwa UU klasik tentang perempuan sangat kental dengan nuansa diskriminatif yang dogmatik eksklusivistik.

Nabi Muhammad Seorang Feminis (?)
Islam, sebagai agama demokratis sebenarnya telah menjawab bahkan telah menyelesaikan berbagai problematika keterkungkungan perempuan dalam segala aspek. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan. Sebagaimana kita ketahui, kaum jahiliyah saat itu betul-betul 'alergi' terhadap perempuan. Buktinya, mereka tak segan-segan untuk mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap sebagai simbol kehinaan (humble symbol). Qasim Amien dalam bukunya Tahrîr al-Mar'ah pun menegaskan tentang diskriminasi jahiliyah terhadap perempuan. Beberapa poin diskriminatif yang dikutip Qasim adalah: Ketiadaan hak warits, tak ada hak suara untuk memilih suami, poligami tanpa batas, dsb.

Namun, budaya jahiliyah nampaknya tak selalu subur. Nabi Muhammad yang datang melalui bendera Islam ternyata mampu menepis patriarkalisme (male dominated). Ada hal menarik yang dikutip DR. Zainab Ridwan dalam bukunya al-Islam wa al-Qhadaya al-Mar'ah (1993), dalam salah satu sub judul yang diutarakan, ia menuturkan bahwa sejatinya Islam adalah agama pertama yang mengusung feminisme. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pesan esensial teks familiar yang jelas-jelas menempatkan posisi perempuan sejajar dengan laki-laki. Dalam surat al-A'raf ayat 189 dan an-Nisa ayat 1 tertulis kata "zauj"(mudazkkar) yang secara etimologi berarti "pasangan yang saling melengkapi". Lebih lanjut, Zainab mengatakan bahwa tidak terdapat satu kata pun ayat al-Qur'an yang menyebut kata "zaujah" (muannats) dan tidak terdapat pula jama' "zaujat", yang ada hanya "azwaj". Dari sini, Zainab berkesimpulan bahwa dari angle etimologi saja, al-Qur'an sudah mengalihkan bias patriarkalisme dogmatik eksklusivistik menjadi feminisme demokratis insklusivistik. Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun.

Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah. Dalam dimensi politik, al-Qur'an sendiri melegitimasi kepemimpinan Ratu Balqis dalam sebuah sistem politik dinasti dimasa Nabi Sulaiman AS. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu kampium bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan.

Stereotip Barat tentang Misoginis Patriarkalisme Dunia Islam
Menurut Shorwalter, seperti dikutip Nurchalis Madjid dalam bukunya Islam Agama Peradaban, wacana jender dan feminisme mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977. Pada awalnya, pengaruh feminisme barat sering merujuk pada perbincangan dan pemikiran tokoh wanita di Amerika Serikat pada penghujung tahun 1840-an seperti Elizabeth Cady Stanton, Susan B Anthony, Lucy Stone dan Sojourner Truth. Menariknya, yang selalu jadi basis sasaran kajian problema mereka adalah dunia Arab dan Islam. Karena mereka melihat nasib kaum perempuan di banyak negara yang secara representatif mewakili dunia Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran, dll. adalah negara-negara yang kerap mendiskreditkan hak, harkat dan martabat perempuan. Stereotip ini terus menguat dengan penerbitan-penerbitan novel karya Barat seperti The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy dan masih banyak lagi.

IKPDN Bias Gender ; Masa Sich...?
Dari paparan diatas, penulis ingin sedikit mengejawantahkan analogi feminisme kedalam organisasi kita tercinta, IKPDN. Melalui analisa subyektif, tanpa bermaksud men-judge siapapun, penulis berasumsi bahwa ada bias-bias gender patriarkal yang masih menjadi paradigma sebagian masyarakat organisasi almamater ini. Sekedar contoh, ketika SPA bulan Februari lalu, secara politis, seakan perempuan sama sekali tidak mendapat tempat untuk memimpin organisasi ini. Contohnya saja, ada dua calon ketua IKPDN dari perempuan: Afridesy Puji Pancarani (Puput) dan Cut Endang Puspasari (Icut). Juga, ada calon pemred Perdana dari pihak perempuan: Hartini Azhar (Tini). Penulis melihat pencalonan ketiga 'bidadari' diatas kurang semangat dan miskin supporter. Padahal, secara kapabilitas memimpin, mereka bertiga tak diragukan lagi. Tapi etahlah, mungkin saja mereka berfikir kalau mereka takkan terpilih dengan dalih karena mereka adalah perempuan yang tak boleh memimpin sebuah organisasi. Namun, semoga saja bukan itu alasan mereka. Karena jika alasan mereka seperti ini, terus terang, secara tak sadar, kita semua sedang berada dalam sebuah masalah besar. Dan secara tak disengaja, kita sedang terjebak dan menganggap bahwa perempuan adalah kaum misoginis (sumber malapetaka). Secara tak sadar pula, serpihan-serpihan asumsi minor seperti ini bukan tidak mungkin akan menemui titik kulminasi klimaks yang kemudian mengajak kita untuk kembali mengadopsi paradigma patriarkalisme.

Terus terang, penulis sama sekali tidak bermaksud membesar-besarkan masalah yang dinilai sepele, apalagi memiliki tujuan politis karena tidak terpilih menjadi pemred Perdana. Bukan. Bukan itu!. Penulis hanya sedikit terinspirasi dengan judul buku karya Karen Amstrong, "Think Global!" yang selalu mengajak kita untuk selalu berfikir besar. Sejatinya, penulis berharap, sekalipun organisasi kita ini terbilang kecil, namun tidak seharusnya membuat kita berpikir kerdil. Sebetulnya, motivasi dasar tulisan ini hanya berawal dari sepintas kekhawatiran belaka. Ya, penulis khawatir jika kita terus memanjakan diri untuk selalu "meng-iya-kan" apa yang kita anggap "iya", tanpa berani sedikitpun untuk mengatakan "tidak" pada hal apapun. Jika hal ini terjadi, bukan tidak mungkin pula, ketika kita pulang ke tanah air nanti akan membawa 'oleh-oleh pemikiran' yang 'karatan'. Padahal sejatinya, Allah Swt. senantiasa berpesan dan mengingatkan kepada manusia untuk selalu bertafakkur. Dan terakhir, ini yang paling penting, penulis sangat berharap, semoga kita tidak menganggap perempuan sebagai "rongsokan" dan "tai ayam" (dari berbagai interpretasinya). Semoga!.
Zyz Ibrahim Syah
Grafik pelancong Al Azhar dari tanah air hampir tiap tahun meningkat. Hingga menjadikan dinamika organisasi anak bangsa pun semakin deras, produktif dan profesional. Paling tidak, hal ini terbukti dengan komunitas mahasiswa Indonesia-Mesir(masisir) yang mampu menelurkan aneka organisasi. Namun, yang paling menarik tentunya-menurut penulis-tetaplah organisasi induk berwibawa yang bermabes di lantai 1 Wisma Nusantara. Pasti, dibenak anda sudah terbayang, organisasi apakah ini? Benar, dialah Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia(PPMI).

Mengapa penulis mengatakan lebih menarik dan beda dari organisasi lainnya? Karena PPMI merupakan organisasi berkomponen masyarakat pelajar yang heterogen. Dan juga merupakan organisasi sentral yang setiap aktifitas dan kebijakannya selalu dalam pengawasan warganya. Sebagai salah seorang pelajar Ma'had, sebetulnya penulis ingin sedikit berkomentar dalam skala mikro tentang nasib Ma'had dalam PPMI.


Di sini, kita akan mencoba sekilas meneropong status pelajar Ma'had sebagai bagian dari warga PPMI. Sebagai organisasi induk, PPMI tentunya memiliki peranan penting bagi seluruh pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir. Paling tidak, organisasi ini berfungsi sebagai pengayom, pendidik dan pengawas umum bagi berbagai organisasi dan elemen masyarakat pelajar di bawahnya. Hal ini terlihat dari berbagai upaya maksimal PPMI yang berusaha untuk selalu membantu organisasi dibawahnya -atau bahkan PPMI sendiri- untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang mendukung SDM masisir.Namun, berdasarkan pengamatan penulis yang notabenenya sebagai pelajar Ma'had Al Azhar, PPMI terasa sebagai organisasi yang kurang peka dan belum terlalu terbuka dengan khalayak pelajar dan masisir secara umum. PPMI dirasakan belum maksimal menembus setiap lapisan masyarakatnya. Sebagai bukti, ada satu hal yang penulis anggap penting yang hingga kini sama sekali tidak tersentuh oleh 'bapak' organisasi itu. Tak usah berpikir terlalu jauh, Anda tahu? Ma'had. Ya, pelajar Ma'had lah yang terlupakan atau bahkan sengaja dilupakan dalam agenda besar setahun PPMI. Terkadang, ada beberapa program PPMI yang secara jelas tidak mengikut sertakan pelajar Ma'had sebagai bagian dari komposisi kegiatan tersebut. Takrimunnajihin misalnya. Sejak dulu, setiap tahunnya pelajar Ma'had memang selalu berlangganan untuk 'gak dapet jatah nongkrong' di Shalah Kamil dalam acara yang berbudget besar itu. Bukan hanya takrimunnajihin, beberapa persyaratan dalam agenda sosial dan perlombaan milik PPMI pun sempat membuat pelajar Ma'had hanya bisa gigit jari.Harus diakui, mendengar istilah 'pelajar Ma'had' dirasakan masih menyimpan sedikit tanda tanya keraguan.


Bahkan mungkin, istilah 'pelajar Ma'had' ini masih terkesan asing bagi sebagian kalangan mahasiswa Indonesia-Mesir (masisir). Mungkin hal ini dikarenakan minimnya informasi tentang lembaga pendidikan Tsanawi dan I'dadi Al Azhar di telinga masyarakat Indonesia. Selain itu, juga karena sedikitnya jumlah kuantitas pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Ma'had Tsanawi dan I'dadi Ma'had Al Azhar. Namun tidak tepat jika PPMI menggunakan alasan pasaran ini untuk tidak mengikutsertakan pelajar Ma'had pada sebagian programnya. Karena PPMI bukanlah organisasi seumur jagung yang tidak tahu keberadaan pelajar Ma'had. Yah, walau terdengar miris, status pelajar Ma'had dalam tubuh PPMI bagai ungkapan "wujuduhu ka'adamihi". Sebenarnya, kata 'diskriminasi' terlalu kasar untuk melukiskan nasib pelajar Ma'had dalam PPMI. Namun, kata inilah yang paling tepat untuk menggambarkan kemalangan suara hati pelajar Ma'had. Sikap pilih kasih karya PPMI ini memang cukup membuat mereka tak bisa tidur pulas. Karena memang, PPMI bukanlah organisasi milik mahasiswa saja. Eja dan ingatlah kembali kepanjangan dari akronim PPMI. PPMI adalah kepanjangan dari Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia. Presiden PPMI dan kabinetnya harus ingat dan paham dengan huruf "P" kedua dari akronim PPMI.


Dari lubuk hati yang paling dalam, penulis sama sekali tidak bermaksud untuk memprovokasi, menjelek-jelekkan, apalagi menghujat PPMI. Tulisan ini layaknya keluhan seorang anak pada bapaknya. Penulis hanya berharap kepada neo PPMI pilihan rakyat untuk lebih peka dan terbuka bagi setiap elemen warganya. Jika saja PPMI mengadakan dialog terbuka dengan pelajar dan mahasiswa, mungkin PPMI akan lebih tahu dan peduli tentang harapan dan ratapan rakyatnya. Bukan hanya pelajar Ma'had, namun juga yang lainnya.Di penghujung tulisan, penulis percaya bahwa terlupakannya Ma'had dalam agenda PPMI bukanlah hal yang memang disengaja. Mungkin, PPMI sebagai 'bapak' warganya, selalu disibukkan dengan segudang aktifitas, hingga tak sempat memikirkan kita, pelajar Ma'had. Akhirulkalam, wallahu a'lam bi as shawab.
Zyz Ibrahim Syah
Awalnya penulis sempat bingung ketika mendapat giliran mengisi rubrik 'profil'. Berbagai tokoh yang menurut penulis layak tampil pun mulai penulis cari dari buku, majalah hingga internet. Sebetulnya, penulis memang lebih tertarik untuk mengamati dan mencari sejumlah tokoh yang bergelut dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia saat ini. Akhirnya, walau agak sedikit ragu penulis tertarik untuk membidik bagian dari kisah hidup seorang tokoh muda yang cukup kontroversial dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia. Anda pasti tahu tokoh ini! Siapa lagi kalau bukan 'Mas Ulil'.

Siapa yang tak kenal dengan pria berkacamata ini? Wawasan dan pandangannya yang dikenal luas dan liberal tentang Islam dan isu-isu kontemporer membuat ia semakin mewarnai blantika pemikiran Islam tanah air. Bahkan pandangannya yang bebas dan terbuka tentang Islam Liberal seakan membuat corak baru di tengah jargon kebebebasan berfikir di era reformasi.

Perjalanan Hidup
Nama lengkapnya adalah Ulil Abshar Abdalla. Lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967. Pria yang dikenal kritis ini berasal dari keluarga Nahdhatul Ulama (NU) secara kultural. Ayahnya seorang kyai NU, Abdullah Rifa'i, dari Pesantren Mansajul Ulum, Pati. Darah NU nya semakin mengental ketika ia meminang anak dari seorang kyai NU dan budayawan muslim, KH. Mustofa Bisri yang mengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang.

Pria berambut ikal ini menyelesaikan pendidikan menengahnya di MA. Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz. Setelahnya, ia mulai getol untuk mencari wawasan agama Islam di Pesantren. Di masa remajanya, ia nyantri di Pesantren Mansajul 'Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Lalu, dilanjutkan studinya di Fakultas Syariah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta. Dan mendapatkan gelar sarjana Lc. dari universitas tersebut. Saking tertariknya Ulil pada filsafat, iapun sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkarya Jakarta. Sekarang, Ulil melanjutkan studinya pada jurusan Perbandingan Agama di Boston University, AS. melalui beasiswa fullbright yang diraihnya. Jika semua berjalan lancar, 5 tahun lagi Ulil pulang menggondol gelar Phd.

Dalam perjalanan akademisnya, pria yang hobi mengenakan kemeja ini dikenal cerdas dan bersikap kritis serta tidak segan dalam menyampaikan gagasannya. Menurut salah seorang kyai NU, jiwa leadershipnya sudah terlihat sejak kecil. Hal ini terbukti dengan terpilihnya Ulil sebagai ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU Jakarta, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), juga menjadi staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta, dan menjadi Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Ia pun tercatat sebagai Penasehat Ahli Harian Duta Masyarakat.

Menuai Kontroversi
Bagi kalangan ulama dan akademisi, tentunya Ulil Abshar bukanlah sebuah nama asing lagi. Ia dikenal sebagai seorang pluralis paling gigih dalam menyampaikan ide Islam Liberal. Berbagai pandangan dan gagasan yang tertuang dalam tulisannya banyak dimuat di berbagai media cetak maupun media elektonik. Kerap kali ia mengisi seminar dan debat terbuka di universitas-universitas. Kelompok diskusi JIL yang di koordinatorinya pun banyak bersuara tentang Liberalisasi Tafsir Islam.

Saat ini Ulil memang banyak menuai simpati plus kritik dari berbagai kalangan. Bagi yang sejalan dengan pemikiran Ulil atas kiprahnya yang getol mengusung gagasan pemikiran Islam Liberal itu dianggap sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam melebihi Nurchalish Madjid. Namun sebaliknya, bagi yang kontra dan menentang gagasan-gagasan Ulil tentang Islam Liberal dan pluralisme agama dianggap sebagai 'orang sesat dan menyesatkan'. Sehingga pantas tulisan-tulisannya di berbagai media massa menuai kontroversi yang cukup menarik. Menurut pengamatan penulis, gagasan pemikiran Ulil banyak diilhami oleh cendekiawan Muslim lain seperti Cak Nur, Ibn Araby, Mohammed Arkoun dan lain sebagainya.

Ulil Di mata Ulama
Kontroversi Ulil dengan gagasan Islam Liberalnya membuat kesan dan penilaian tersendiri di mata cendekiawan dan ulama muslim di Indonesia. Gus Dur misalnya, mengaku simpatik dan takjub terhadap pemikiran-pemikiran Ulil. Dalam sebuah peluncuran buku karya Ulil yang berjudul 'Menjadi Muslim Liberal' di Auditorium utama Universitas Paramadina, dalam sambutannya, Gus Dur mengatakan, "Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam." Akibatnya pun dapat diduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan. Gus Dur juga mengapresiasi pemikiran-pemikiran Ulil. Menurutnya, pemikiran dan liberalisme Ulil, tak ada yang perlu dikhawatirkan.” Gus Dur hanya melihat Ulil risau dengan hilangnya iklim kebebasan berpikir di dunia Islam dan ia mengiaskan pengalaman Ulil dengan apa yang dialami Ibnu Rusyd. Dalam situs gusdurnet.com, Gus Dur pun mengatakan kalau Ulil berbeda dengan orang-orang pesantren lainnya karena ia menjalani profesi bukan pada lingkungan pesantren. Ia juga berani mengemukakan paham Liberalisme Islam yang dinilai sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan 'kemerdekaan berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya', sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap hal ini. Selain Gus Dur, banyak juga yang mendukung gagasan pemikiran Ulil, diantaranya Jalaludin Rahmat, Azyumardi Azra, Goenawan Muhammad dan Lutfi Assyaukani.

Lain halnya Ulil di mata kalangan ulama dan cendekiawan lain. Hartono Ahmad Jaiz misalnya, penulis yang giat meneliti tentang aneka pemahaman Islam di Indonesia ini menyatakan kalau paham Liberalisme dan Pluralisme agama yang diusung Ulil dianggap sebagai paham yang tidak punya dalil atau landasan yang benar dan tidak memiliki paradigma ilmiah serta rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan. Paham tersebut juga dianggap sebagai paham penyembah rasio. Tidak sedikit Cendekiawan dan Ulama yang menentang gagasan Liberalisme Islam Ulil, diantaranya Adian Husaini, FPI, MUI, MMI, FUI dan masih banyak lagi. Hal ini terbukti ketika 31 ormas menggelar tabligh akbar di Masjid Al Azhar Jaksel untuk mendukung sebelas fatwa MUI pada bulan Agustus 2005. Diantara fatwa tersebut menjelaskan tentang terlarangnya penyebaran Ahmadiyah di Indonesia serta memberi label 'haram' terhadap paham Liberalisme dan Sekularisme. Dalam tabligh akbar tersebut hadir lebih dari 700 jamaah wakil berbagai ormas Islam pendukung fatwa MUI.

Bahkan setelah acara tersebut usai, Massa dari Front Pembela Islam (FPI) berencana langsung menuju markas JIL di Jl. Utan Kayu no. 68H, Matraman, Jakarta Timur untuk melakukan demonstrasi. Namun demonstrasi itu urung dilakukan menyusul keputusan rapat beberapa wakil ormas Islam di masjid Al Azhar. Bahkan sebulan setelah itu, rombongan warga yang mengatasnamakan Forum Umat Islam (FUI) mendesak Camat Matraman untuk menutup Kantor JIL di Utan Kayu. Menurut mereka, keberadaan JIL dan Komunitas Utan Kayu meresahkan masyarakat. Dalam aksi unjuk rasa itu menampilkan spanduk-spanduk bertuliskan "JIL Haram, Darah Ulil Halal".

Demikianlah kutipan singkat perjalanan Ulil Abshar Abdalla, penulis buku Menjadi Islam Liberal. Dalam profil ini, penulis sama sekali tidak bermaksud mengkampanyekan pemikiran Ulil yang kontroversial. Justru sebaliknya, gagasan pemikiran Mas Ulil cukup bertentangan dengan ideologi penulis. Namun penulis hanya berharap kepada pembaca untuk dapat mengambil nilai universal yang positif dari pribadi seorang Ulil Abshar Abdalla. (Dikutip dari berbagai sumber)
Zyz Ibrahim Syah
Memang benar, Indonesia ternyata masih kaya akan krisis. Ekonomi, politik, sosial bahkan hingga kepercayaan kerap akrab dengan krisis. Tengok saja, anda tentu masih ingat betul sejak krisis ekonomi melanda Asia pada 1998 lalu. Saat itu, bursa efek berantakan, Rupiah anjlok hingga seratus persen. Lalu, masyarakat bangsa ini (baca:Indonesia) mulai gerah akan ketidakbecusan Orde Baru. Dan akhirnya, rezim Orde Baru pun dipaksa gulung tikar. Sejak saat itulah para elite politik dan rakyat mulai lantang menyuarakan reformasi demi kebangkitan Indonesia. Sejak saat itu pula, elite politik mulai 'pamer jasa' dan 'mengemis simpati' pada rakyat melalui pemilihan umum (pemilu) 1999. Ada yang bercita-cita luhur, adapula yang ngaur. Hasilnya, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi orang nomor satu di Negeri Pancasila ini. Namun, belum sempat Gus Dur-sapaan akrab Abdurrahman Wahid- duduk nyantai di Istana, kursi itu telah di caplok Megawati Soekarno Putri yang tak lain adalah wakil presiden Gus Dur.

Setelah reformasi berumur lima tahun, Indonesia membuka pentas sejarah baru dengan melaksanakan pemilu langsung oleh rakyat untuk memilih seorang kepala negara (baca:presiden). Walau masih agak canggung dengan sistem demokrasi langsung, rakyat tetap tersenyum menyambut Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Tak ragu lagi, rakyat menaruh sejuta harapan, mengharap wejangan dan kasih sayang dari duet SBY-JK yang mereka yakini sebagai 'dewi fortuna' yang akan merubah suasana politik radikal menjadi santun. Dan dari ekonomi yang terpuruk menjadi bangkit. Singkatnya, rakyat berharap hidup makmur. Boleh kita bilang, tahun 2004 adalah tahun emas bagi SBY-JK.

Baru dua minggu menjalankan kemudi pemerintahan, pamor keduanya makin melambung dengan agenda 100 harinya. Terlebih ketika SBY terus berjanji meyakinkan rakyat untuk terus memberantas 'virus pejabat' yang bernama korupsi. Tidak hanya itu, pembangunan rumah miskin, pemulihan ekonomi, dan penindakan tegas pada pelaku terorisme juga tak luput dari agenda SBY-JK. Tak bisa dipungkiri, kinerja SBY-JK memang kian pasang surut bak air di lautan. Setelah kinerja pemerintahannya berjalan selama hampir tiga tahun, masih banyak janji-janji manis presiden yang belum terpenuhi. Hingga saat ini rakyat masih menuntut beras murah, bahan bakar minyak (BBM) yang murah, sikap tegas pemerintah pada pejabat yang jelas-jelas salah karena KKN. Melihat kinerja SBY-JK yang dinilai tak becus menangani masalah-masalah tersebut, para elite politik merasa tak bisa menutup mata dan tinggal diam. Para aktivis politik nasional seperti Gus Dur turut unjuk gigi melihat kesemerautan pemerintah. Bahkan Gus Dur mengatakan akan membuat pemerintah tandingan kalau SBY-JK tak bisa berbuat apa-apa. Tak hanya Gus Dur, berbagai kecaman dan kritikan juga datang dari mantan wapres Orde Baru Try Sutrisno melalui Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR) yang mengusulkan pemerintah SBY-JK segera dihentikan. Dan masih banyak lagi para elite yang tak sabar melihat SBY-JK jatuh. Semoga saja para elite tersebut berbicara atas nurani rakyat, namun disini penulis mengajak pembaca untuk berfikir sejenak.

Benarkah para elite berjuang murni karena rakyat, atau mereka punya rencana lain? Begitu rancu memang percaturan politik negeri ini. Namun inilah wajah politik bangsa kita. Ibarat mengendarai sebuah mobil, terlalu banyak orang yang ingin memegang setir yang jumlahnya hanya satu. Tiap orang ingin memegang setir hingga disebut berjasa dan pandai menyetir. Bukankah sikap ini salah? Karena tujuan mengendarai mobil adalah agar ia sampai pada tempat yang dituju dengan tepat dan selamat. Tidak peduli siapa yang mengemudi, asalkan dia memang tahu ilmu mengemudi. Begitu pula dengan pemerintah,-sepanjang pengetahuan dan pengamatan penulis- 'sebagian' para elite politik yang selalu mengatasnamakan rakyat dalam setiap tindak-tanduknya seakan tidak memiliki niat tulus (clean purpose) untuk membangun bangsa. Namun, hanya ingin melampiaskan ambisi merebut kekuasaan. Sehingga hasilnya bisa ditebak, bukan kemakmuran rakyat yang terusung, namun krisis yang tak berujung. Disini, penulis samasekali tidak bermaksud pro SBY-JK.

Kabinet SBY-JK memang harus dikritisi. Dalam pemerintahan yang demokratis, budaya kritik harus dikembangsuburkan. Pemerintahan yang demokratis meniscayakan budaya kritik, karena budaya kritik dapat mendinamisasi sebuah pemerintahan. Kritik sebenarnya memberi sintesis perbaikan dan penyempurnaan untuk proses menegara. Kini menjadi jelas, hadirnya ‘tukang kritik’ menjadi pilar sebuah pemerintahan yang demokratis. Matinya tukang kritik melahirkan pemerintahan yang tiran dan otoriter. Dalam sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami matinya tukang kritik pada rezim Orba yang disebut rezim pemangsa. Selama 32 tahun kita mengalami sistem pemerintahan panoptik yang kasar. Sri Bintang Pamungkas adalah salah satu tokoh tukang kritik yang dipasung. Ia dituduh menghina Presiden Soeharto sehingga dijatuhi hukuman penjara. Apabila tukang kritik dibungkam, demokrasi menemukan ajalnya. Kehadiran tukang kritik adalah suatu keniscayaan dalam sebuah pemerintahan yang demokratis. Menihilkan tukang kritik sama dengan membangun pemerintahan yang tiran dan otoriter. Terakhir, penulis berharap para elite politik yang gencar menghajar SBY-JK harus tetap rajin merefleksi diri. Benarkah suara mereka murni untuk rakyat, atau cuma bekal mereka menghadapi pemilu 2009 nanti? Dan bagi pasangan SBY-JK, penulis dan semua rakyat Indonesia berharap transparansi dan realisasi atas segala janji-janji kampanye dulu!. Semoga Indonesia makin jaya!.
Labels: 0 comments |
Zyz Ibrahim Syah
Judul Buku : Mandzhûmat al-Hukm fi al-Fikr al-Islâm
Penulis : Mahmud al-Murakiby
Tebal : 156 halaman
Penerbit : Maktabah Usrah


Sebuah risâlah nabawiyah (appoinment of propheted) yang dilimpahkan Allah Swt. kepada Muhammad Saw. telah terbungkus rapi dalam sebuah paket agung bernama "Islam". Agama Islam telah dijanjikan Allah sebagai tuntunan hidup umat di dunia dan akhirat dalam segala aspek (QS 27:2). Baik tatanan ibadah, syari'ah, ekonomi dan tatakrama sosial telah tertata rapi dalam dustur Islam: al-Qur'an. Demikian halnya dalam politik, Islam juga telah memilki miniatur sistem pemerintahan untuk mengelola sebuah negara.

Paling tidak, muqaddimah itulah yang ingin dipaparkan oleh Mahmud al-Murakiby, seorang sarjana engenering Universitas Ain as-Syams Cairo dalam bukunya Mandzhûmat al-Hukm fi al-Fikr al-Islâm. Buku ini adalah buku kedua dari tiga buah buku paket berseri dengan judul besar Al-Islâm wa ad-Dîmuqrâtiyah. Pada buku pertama yang berjudul Ad-Dîmuqrâtiyah; Wâhah am Sarâb (Demokrasi; Oase atau Fatamorgana?), penulis menjelaskan tentang paham demokrasi dari berbagai perspektif yang berbeda. Mulai dari perspektif negara hingga agama. Dalam perspektif agama misalnya, tata nilai demokrasi tidak ditemukan dalam budaya masyarakat Yahudi. Dimana sebuah negara dipimpin oleh seorang pemimpin spiritual (kâhin) yang dalam setiap kebijakan politiknya harus dilaksanakan oleh rakyat (ijbâri, absolut). Karena setiap kebijakan seorang pemimpin spiritual selalu mengatasnamakan perintah Tuhan. Dalam persfektif negara —dalam hal ini Amerika Serikat— demokrasi dianggap sebagai sebuah solusi alternatif untuk membangun sebuah negara berperadaban (hadhâri). Karena kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat dan berkreasi hanya akan ditemukan dalam sebuah negara berasaskan demokrasi. Walaupun dalam bukunya ini penulis menentang keras kalau kemajuan sosial dan politik di Amerika disebabkan demokrasi. Menurutnya, kemajuan Amerika disebabkan sebuah akumulasi dari perbudakan selama ratusan tahun silam.

Sebagai tindak lanjut dari buku tersebut, buku ini menjelaskan tentang sebuah tata negara dalam Islam. Sebelum penulis menjelaskan komposisi negara dalam Islam, secara historis, terlebih dahulu diceritakan "mandul" nya sistem politik Islam. Bahwa sejak abad XX, peranan Islam sebagai agama samawi yang sempurna (perfect, kamâl) mulai pudar. Baik peranannya sebagai sebuah jalan lurus menuju kehidupan abadi di akhirat, maupun sebagai sebuah solusi yang secara eksplisit menjawab sejuta problematika umat. Dalam skala makro, peranan politik Islam pun mulai nihil sejak runtuhnya Khilâfat al- Islâmiyah Turky Utsmani pada tahun 1922. Sejak saat itu, mulai tumbuh tatanan politik baru: Komunisme (Syuyû'iyah) di Timur yang merupakan representasi politik Uni Soviet, Demokrasi (Dîmuqrâtiyah) di Amerika Serikat dan Matrealisme (ra'sumâliyah) di Eropa. Ketiga sistem politik tersebut mulai dijejalkan oleh penggagasnya secara terbuka sejak berakhirnya Perang Dunia II ke beberapa negara terjajah. Yang unik, secara disadari atau tidak, negara-negara bagian Islam pada masa Khilâfat al-Islâmiyah (duwailât, state in a federal system) dahulu, ternyata menjadi target utama untuk sebisa mungkin dibentuk sebagai negara penganut salah satu sistem politik diatas. Mesir misalnya, setelah mendapatkan kemerdekaan terbatas dari Inggris pada tahun 1922, para elite politik Mesir disibukkan untuk mengadopsi "mentah-mentah" tiga sistem politik tersebut (Komunisme, Demokrasi dan Matrealisme).

Islam dan Politik
Melirik Islam sejak awal munculnya pada masa Rasulullah Saw. hingga saat ini, tentunya akan terlalu banyak menyimpan kosakata sejarah. Politik misalnya, adalah sebuah unsur yang tak mungkin dipisahkan dalam membaca sejarah Islam. Khulafa' ar-Râsyidîn (632-661 M/11-41 H), Daulat al-Umâyah (661-750 M/40-129 H) Daulat al-Abbâsiyah hingga Kerajaan Turki Utsmani disinyalir —walau tidak sepenuhnya murni— merupakan produk politik Islam.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa tatanan politik memang tidak bisa dilepaskan dari Islam. Artinya, Islam dan politik bak dua sisi mata uang logam yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut penulis buku ini, secara essensial Islam telah memberikan solusi politik bagi ummatnya dalam al-Qur'an dan Sunnah. Walaupun penulis tidak menafikan kalau tidak ada statemant baku (ad-Dalîl al-Qath'iy) dalam membentuk sebuah negara Islam versi Khulâfa ar-Râsyidîn, Daulat al-Umayah atau Daulat al-Abbâsiyah. Artinya, sistem negara berbentuk khilafah diatas merupakan sebuah inovasi dan kreasi manusia. Bahkan, penulis menekankan kalau sistem politik negara berbentuk negara agama sangat tidak efektif. Sistem negara seperti ini tidak akan didapat sebuah kebebasan berfikir. Justru sebaliknya, produk pemikiran yang bertentangan dengan keyakinan negara akan menjadi sasaran empuk untuk dikebiri pemerintah.

Maka —lanjut penulis— apapun bentuk sistem negara Islam pada zaman modern saat ini menjadi sah-sah saja. Tentunya, dengan catatan konsisten menjunjung tinggi kemaslahatan masyarakat dalam negara tersebut. Demokrasi, Matrealisme dan Komunisme sangat mungkin diterapkan ke negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, tapi, bukan dengan "carbon-copy" tanpa proses filtrasi. Artinya, ada nilai-nilai politik yang positif dari ketiga sistem politik diatas yang bisa diambil oleh perumus sistem politik sebuah negara.

Pada salah satu pembahasan buku ini, penulis melakukan muwâzanah (perbandingan) antara nilai universal demokrasi dengan panduan bernegara dalam al-Qur'an. Nilai-nilai politik demokrasi dalam Islam yang termaktub dalam al-Qur'an sebagai berikut:

1. Musyawarah (as-Syûra') Merupakan asas dalam demokrasi. Dimana setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama rata. Walaupun nabi Muhammad Saw. dinyatakan sebgai manusia sempurna, namun Allah Swt. Tetap memerintahkannya untuk bertukar pendapat dengan para sahabat (QS 42:38 dan 3 : 159)
2. Kebebasan beragama (QS 2; 256 dan 109:6).
3. Islam menganjurkan saling menasehati. Ketika semua anggota masyarakat melakukan aktifitasnya, tidak dapat dipungkiri akan terdapat kekeliruan dan kekhilafan dalam diri masing-masing. Oleh karena itu, saling menasehati dan bertegur sapa merupakan sebuah langkah untuk menemukan kebenaran dari berbagai kalangan. Demikian pula dalam sebuah sistem kenegaraan, dimana seorang kepala negara tidak bisa bertindak absolut. Ia harus tetap dikritisi oleh lembaga pengawas dalam negara.
4. Keadilan. Sebuah negara akan bangkit dan memiliki peradaban jika keadaan negara adil dan stabil. Dimana setiap hak warganegara diberikan tanpa pandang bulu. Tidak ada perbedaan antara warga negara lokal dan asing. (QS 16: 90).

Bentuk Negara dalam Islam
Pada salah satu pembahasan buku ini, dipaparkan tentang sebuah sistem politik bernegara dalam kacamata Islam, dimana komponen-komponen (miniatur) sebuah negara terdiri dari :

1. Kepala negara (hâkim). Merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki kebijakan-kebijakan politik internal dan eksternal. Hal ini telah dicontohkan oleh Khulafâ ar-Rasyidin.
2. Jamâ'ah ahl al-hal wa al-'Aqd. Merupakan lembaga tertinggi dalam negara yang memiliki wewenang untuk mengangkat dan menurunkan kepala negara. Hal ini telah tercermin dalam sistem pengangkatan Khulafâ ar-Rasyidin.
3. Majlis as-Syûrâ'. Merupakan lembaga perkumpulan wakil masyarakat yang telah dipilih dan dipercaya sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada kepala negara.
4. Dîwân al-Madzhâlim. Merupakan sebuah lembaga keamanan masyarakat. Jika hak-hak sebuah komunitas masyarakat terdzhalimi, maka dewan ini memiliki tanggungjawab perlindungan dan keamanan. Lembaga ini bertanggungjawab secara hukum kepada kepala negara.
5. Sulthah tanfîdziyah. Merupakan pemegang kebijakan politik, sosial dan ekonomi internal sebuah negara. Lembaga ini dipimpin oleh seorang perdana menteri (Wazîr al-Wuzarât, Chief of Ministry) yang membawahi beberapa menteri departemen.
6. Dîwân al-Hisbah li ad-Daulah. Lembaga ini berfungsi sebagai pengontrol debet-kredit keuangan negara yang digunakan oleh perangkat negara diatas.

Inilah sekilas tentang miniatur negara dalam Islam yang ditawarkan oleh Mahmud al-Murakiby. Buku ini akan sangat bermanfaat untuk menambah wawasan intelektual kita, walaupun ada beberapa hal yang harus tetap dikritisi.
Zyz Ibrahim Syah
Sebuah pembahasan tentang "Dikuburnya kepala Sayyidina Husein di Kairo" adalah sebuah studi historis, bukan studi aqidah ataupun syariah. Jadi, seseorang tidak memiliki kewajiban untuk mengimani hal tersebut. Demikian pula bagi yang megingkarinya, tidak bisa divonis kufur atau beriman. Hal ini sama seperti ketika ada seseorang yang berkata : "Piramid itu bukan berada di Mesir, tapi di negara lain". Apakah mempercayai pernyataan di atas di anggap beriman? Tentu tidak!. Hanya orang bodoh yang percaya pada pernyataan tersebut.

Para sejarawan dan penulis sejarah sepakat bahwa jasad Husein r.a. telah dikubur di Karbala, Irak. Namun kepalanya dikubur terpisah, hingga pernah singgah di 'Asqalan (sebuah pelabuhan di Palestina di Laut Tengah), yang juga sejajar dekat dengan pelabuhan Mesir dan al-Quds.
Mayoritas sejarawan besar seperti Ibn Maysir, al-Qalqasyandi, Ali bin Abi Bakr yang terkenal dengan sebutan as-Sayih al-Harwi, Ibn Abbas, al-Jauzy dan al-Hafidz as-Sakhawi pun berkeyakinan tentang adanya kepala Sayyidina Husein r.a. yang telah terpisah dari jasadnya itu dipindahkan dari Asqalan ke Kairo.


Salah seorang sejarawan bernama al-Maqrizi berkata : "Kepala Sayyidina Husein r.a. telah dipindahkan dari Asqalan ke Kairo pada hari Minggu 8 Jumadil Akhir 548 H yang bertepatan pada 31 Agustus 1152 M. Adapun yang memindahkan kepala Husein r.a. tersebut dari Asqalan adalah Raja Saiful Mamlakah Tamim. Pertama kali kepala itu tiba di al-Qasr pada hari Selasa 10 Jumadil Akhir (2 September 1153 M)". Kemudian al-Maqrizi manambahkan : "Lalu Syeikh Maknun mengambil kepala Husein r.a. dan membawanya ke Taman al-Kafuri dan membawanya ke Sardab, dibawa lagi ke Qasr al-Zumrud, lalu menguburnya di Qubbah ad-Daylam, tepatnya di pintu Dahliz al-Khidmah". Terakhir, al-Maqrizi mengatakan : "Lalu di bagian depan kuburan kepala Husein r.a. itu dibangun sebuah bangunan yang dijadikan Masjid, tepatnya di pintu Zawilah jika dilihat dari arah ad-Darb al-Ahmar, yang dikenal dengan Masjid as-Shalih Tala'i. Kepala Husein r.a itu pun dimandikan di Masjid tersebut, dimandikan di atas papan dari kayu, lalu dikatakan bahwa kepala Husein r.a masih ada di masjid itu."


Seorang yang bergelut mendalami atsar sahabat pun menguatkan peristiwa diatas. Sayyidah 'Atiyyat as-Syatwy (Analisis atsar sahabah dan pengawas renovasi Qubbah Syarifah sejak beberapa tahun terakhir) berkata : "Sebuah lembaga pemerhati atsar sahabah menguatkan pemberitaan jika kepala Husein r.a. benar telah dipindahkan dari Asqalan ke Kairo, persis seperti yang telah dikatakan al-Maqrizi, yaitu pada Minggu 8 Jumadil Akhir 548. dan yang memindahkan kepala Husein r.a. tersebut dari Asqalan adalah Raja Saiful Mamlakah Tamim. Pertama kali kepala itu tiba di al-Qasr pada hari Selasa 10 Jumadil Akhir (2 September 1153 M)."


Hebatnya, para peneliti tentang masalah ini mendapatkan teks tertulis dari sebuah buku berjudul "Tarikh Amad" yang ditulis pada tahun 560 H oleh Ibn al-Auraq (W. 572 H). Teks ini disimpan di sebuah musium di London, Inggris dengan nomor pustaka '5803/East'. Penulis buku ini menyatakan dengan metode penulisan yang sangat meyakinkan jika kepala Husein r.a. benar telah dipindahkan dari Asqalan ke Mesir pada tahun 549 H (sezaman dengan Ibn al-Auraq). Ia pun ikut bergabung dengan masyarakat Mesir pada saat penyambutan kepala Husein r.a..
Al-'Allamah as-Syabrawi (Syeikh Azhar dahulu) pernah mengarang sebuah buku berjudul "al-Ithaf". Di dalam buku tersebut, as-Syabrawi menyatakan jika kepala Husein r.a. benar berada di Kairo. Ia pun mengutip ulama yang sependapat dengannya seperti Imam al-Muhdits al-Mundziry, al-Hafidz Ibn Dahiyyah, al-Hafidz Najmuddin al-Ghaithani, Imam Majduddin bin Utsman, Imam Muhammad bin Basyir, al-Qhady Muhyiddin bin Abdudzahir, al-Qhady Abdurrahim, abdullah Rifa'i al-makhzumy, Ibn Nahwy, Syeikh al-Qursy, Syeikh Syablanji, Syeikh Hasan al-'Adwy, Syeikh as-Sya'rani, Syeikh al-Manawy, syeikh al Jauhary, Abu al-Mawahib at-Taunusi, dll.


Syeikh Muhammad Zaky ad-Din Ibrahim pernah menulis sebuah artikel pendek tentang kepala Husein tersebut dengan judul "Kepala husein r.a. benar ada di Kairo". Artikel yang ditulisnya penuh dengan argumentasi yang menenangkan hati.


Maka oleh karena itu, hati ini hanya akan merasa tenang jika kita mengikuti jejak mayoritas sejarawan, yang telah mengatakan bahwa kepala Husein r.a. benar telah dikubur di Kairo. Alhamdulillahirabbil alamin, Wallahu a'lam. (diterjemahkan dari "Al-Bayan Lamma Yusygil al-Adzhan", sebuah dokumentasi fatwa yang ditulis oleh Syeikh DR. Ali Jum'ah, Mufti Mesir 2007)
Zyz Ibrahim Syah
Belajar di Ma'had Buuts al-Azhar, Tsanawy atau I'dady, adalah sebuah kesempatan emas bagi siapapun. Bagaimana tidak, dijenjang pra S1 ini, kita diajak menelusuri seluruh disiplin ilmu Islam secara global: Bahasa Arab, Fiqh, Tauhid, Tafsir, Hadits, dsb. Mungkin kita boleh saja sepakat, atau juga tidak, jika standar kenaikan dan kelulusan di Ma'had tidak seketat dengan S1 (baca: kuliah), karena Ma'had memang dirancang sebagai wadah pembekalan menuju S1. Kurang lebih begitu.

Sebagai salah seorang santri Ma'had yang baru lulus, penulis hendak menceritakan sedikit kegalauan hati yang sempat mandeg beberapa hari ini. Sebetulnya, tulisan ini kental dengan 'imajinasi subyektif'. Namun, penulis berharap, tulisan ini bisa dijadikan sebagai 'refleksi preventif' bagi penulis sendiri dan teman-teman Ma'had. Mungkin nggak yah? Terus terang, menyabet gelar alumni Ma'had tentunya menjadi kebanggan tersendiri bagi pelajar asing (baca: wafidin), termasuk pelajar Indonesia. Tak bisa dinafikan, secara psikologis, mereka (baca: alumni Ma'had) memang lebih siap duduk dibangku kuliah ketimbang dengan mereka yang lulus Madrasah Aliyah di Indonesia. Ini tak lain karena proses adaptasi dengan lingkungan masyarakat Mesir telah lebih dini dilakukan oleh pelajar Ma'had. Tentunya, Ini bisa saja jadi nilai plus buat kita. Namun sayang --tanpa bermaksud menuduh--, kelebihan dan kebanggan diatas terkadang belum bisa disikapi dengan arif dan bijak. Berdasarkan analisa kecil penulis --walaupun belum pantas disebut sebagai analisa--, kelebihan yang seharusnya mampu memicu jebolan (baca: alumni) Ma'had untuk lebih memaksimalkan diri ketika duduk dibangku kuliah, justru jadi sebaliknya. Kebanggaan atas kelebihan yang dimilki justru berpotensi menjadi benih-benih percaya diri berlebihan, hiper. Michael Smith, seorang pakar psikologi asal Harvard University menyebut percaya diri yang berlebihan itu sebagai "over confidence".Dalam bukunya, Pshycology and Human Being, Smith mengatakan jika over confidence lahir dari rasa percaya diri yang overdosis dan bukan menggambarkan kondisi kejiwaan yang sehat. Karena hal tersebut merupakan rasa percaya diri yang bersifat semu. Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orang tua dan masyarakat (sosial), hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untuk menjadi orang lain.

Selain itu, persepsi yang keliru pun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri sendiri hingga rasa percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh kesadaran pada batas kemampuan yang dimiliki. Hal ini pun bisa didapat dari lingkungan di mana individu di besarkan, dari teman-teman (peer group) atau dari dirinya sendiri (konsep diri yang tidak sehat).

Jika objek studi kasus atas penuturan Smith tentang 'over confidence' diatas adalah alumni Ma'had yang sedang duduk dibangku kuliah termasuk saya tentunya-- mungkin akan sangat berbahaya. Dikhawatirkan, jika kita over confidence, kita akan cenderung hiper nyantai menghadapi perkuliahan di Universitas al-Azhar. Dengan terlalu merasa yakin dan cukup pada bekal kemampuan bahasa Arab yang didapat dari Ma'had. Sehingga, membaca diktat kuliah sambil terkantuk-kantuk pun sudah merasa paling paham, paling jago. Parahnya, kita kadang ke-GR-an jika ada mahasiswa yang memuji jebolan Ma'had, yang katanya, jago berbahasa Arab. GR sich boleh-boleh saja. Tapi, awas jika sampai terhanyut dan melupakan 'perahu yang bocor'. Saat pengumuman nilai turun, hanya wajah memerah dan dahi berkerut yang diperlihatkan. Bukankah ini mengerikan, kawan?.

Maka, disini kita harus pandai membedakan antara optimis dengan over confidence. Optimis adalah sebuah sikap percaya diri ketika hendak menampilkan potensi diri yang dimiliki. Jadi, optimis mah penting, harus. Karena ia bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi sangat mungkin. Sedang over confidence adalah sebuah sikap hidup dimana tingginya frekwensi keyakinan melupakan frekwensi realita kemampuan. Sehingga cenderung tak berkeinginan untuk meningkatkan potensi diri. Ngeri yah? Terakhir, penulis berharap, semoga tulisan ini bisa menjadi wacana dan langkah awal bagi kita untuk mampu menjadi lebih baik. Semoga. Wallahu a'lam (Pernah dimuat di buletin SuPel (Suara Pelajar) Ma'had al-Azhar Cairo Mesir edisi magang, September 2007)