Zyz Ibrahim Syah
Terus terang, dua minggu terakhir ini aku bingung. Aku malu. Aku malu sebagai orang berpaspor hijau tua bergambar garuda. Seakan negeri ini tak punya identitas. Absurd. Plin-plan. 'Culun'. Huggh, cabe dech!.

Dulu, ketika aku duduk di bangku sekolah dasar yang berdebu, aku begitu bangga pada bangsa ini, aku bangga pada guruku, aku bangga pada diriku sendiri. Serius. Aku ingat betul pada Bu Maryam, guruku di kelas I SD, beliau tak pernah bosan meyakinkan kami bahwa Indonesia adalah negeri yang sopan, santun dan murah senyum. Yah, aku ingat betul akan hal itu. Membuatku bernostalgia indah. Melegakan. Membanggakan.

Demokrasi? Ketika duduk di kelas 6, aku memang tak tahu banyak tentang demokrasi. Kata ini saja baru aku dengar saat itu. Kata yang begitu asing buatku. Yang aku tahu, demokrasi selalu identik dengan peristiwa Mei '98. Saat Soeharto hengkang dari Istana, di Jalan Veteran. Saat itu, Aku pun merasa tak perlu mencari tahu apa arti demokrasi. Aku merasa cukup dengan obrolan ringan bapak-bapak tua yang kongkow di kedai-kedai kopi di desaku. Memang, bapak-bapak tua itu bukanlah ahli hukum, bukan sarjana, bukan siapa-siapa. Mereka hanyalah pekerja keras di sawah. Tapi, mereka juga sama yakinnya denganku, jika demokrasi adalah sebuah ungkapan untuk mengenang bubarnya rezim Orde Baru.

Namun, belakangan aku sedikit tahu tentang demokrasi. Secuil saja. Hehehe. Hebat, demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan jempolan. Sistem inilah yang akan memberangus otoriterianisme, diktatorisme dan pemerintahan tirani. Dengan demokrasilah, persamaan hak dan martabat manusia bisa diwujudkan. Demokrasi akan melahirkan egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan). Ia memang dipopulerkan Barat. Tapi, secara substansial, aku menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Pantas saja Indonesia begitu bangga menyandang predikat negara demokrasi. Tidak tanggung-tanggung, pada tahun 2005, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling demokratis ketiga di dunia setelah Amerika dan Kanada. Organisasi yang memberikan penyematanpun bukan organisasi main-main, bukan organisasi kacangan: Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC). IAPC adalah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia. Aku juga sempat membaca beritanya pada salah satu headline surat kabar elektronik. Aku pun tersenyum bangga. Aku bangga sebagai orang Indonesia. Aku bangga sebagai anak bangsa.

Bumi memang tak bisa lepas dari rotasi orbitnya. Ia selalu rutin berrevolusi menjelajahi matahari. Ini hukum alam. Demikian juga dengan Indonesiaku, dengan demokrasiku. Indonesiaku telah berubah. Sekarang aku tak bangga ketika orang-orang seantero jagad raya memuja Indonesia sebagai negeri demokratis. Bahkan, aku malu. Teman, jujur aku sangat malu. Serius!. Ini semua bukan tanpa alasan. Hal ini bertolak dari sebuah tragedi memalukan sebagai sebuah bangsa. Tragedi Monas 1 Juni kemarin. Buatku, tragedi berdarah itu tak lebih dari sebuah pagelaran "acakadut bin sontoloyo". Seperti yang anda tahu, sejumlah massa berjubah putih menghantam beberapa orang dengan seruan "Allahu Akbar". Dengan dalih iman, mereka bertindak seperti preman. Aku tidak habis pikir, mengapa mereka bisa bertindak segeram itu. Inikah yang dinamakan Islam? Inikah yang disebuat rahmatan lil 'alamin?. Hugghh, mereka membisu!. Aku memang tidak melihat kejadian tersebut secara langsung di TV. Aku hanya bisa menyaksikannya lewat video downloadan dari Youtube. Jujur, aku miris. Dahiku tak berhenti berkerut. Beberapa orang dari masa FPI (Front Pembela Islam) dan KLI (Komando Laskar Islam) terlihat sadis menghantam masa AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan). Mereka menghujamkan pukulan, tendangan bahkan menggebukkan bambu bendera dan TOA speaker kepada beberapa orang. Mengerikan. Menyedihkan. Memalukan.

Sejarah mencatat, hari itu menjadi hari peringatan Pancasila paling ironis. Beberapa media lokal tanah air menyebut peristiwa kekerasan Monas itu sebagai "Insiden Monas", ada juga yang menyebutnya "Tragedi berdarah 1 Juni". Namun, aku lebih puas menyebutnya sebagai "Hari Demokrasi Mati". Bagiku, ketika perbedaan diselesaikan dengan kekerasan dan polisi tidak bertindak tegas terhadap aktornya, maka demokrasi sebenarnya sudah mati. Kekerasan akan berbalas kekerasan. Korban akan berjatuhan, luka atau tewas. Dan, masyarakat akhirnya ada dalam kekacauan. Kekacauan adalah pertanda demokrasi sudah mati.

Jujur, aku bukan supporter Ahmadiyah. Swerr dech!. Bahkan, aku sangat setuju jika organisasi sesat kelahiran 1925 ini dibubarkan. Aku setuju dengan Soekarno yang berani menolak Ahmadiyah. Aku juga sependapat dengan Muhammad Iqbal yang tidak mempercayai Mirza Ghulam sebagai mujaddid, apalagi sebagai nabi. Terlebih, aku sangat menghargai hasil observasi Bakorpakem yang memvonis sesat Ahamadiyah. Memang, JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) telah menodai Islam. Telah mengobrak-abrik keyakinanku. Mencabik-cabik imanku. Sebuah hal paling fundamental bagiku, bagi umat Islam. Mereka telah berupaya untuk menyakiti perjuangan Rasulullah SAW tercinta. Perjuangan para sahabat dan tabi'in.

Namun, bukan berarti aku setuju dengan langkah geram FPI cs. Bagiku, mereka tetap saja salah. Tindakan anarkis mereka harus dibawa ke meja hijau. Sekali lagi, dengan dalih iman, mereka bertindak seperti preman. Dengan dalih Ahmadiyah, mereka melukai segelintir orang. Negara harus tegas!. Sebagai pentolan, Habib Rizieq dan Munarman harus bertanggungjawab. Kalau perlu, BUBARKAN SAJA FPI!. BUBARKAN JUGA AHMADIYAH!. Negara ini negara hukum Bung, bukan negeri rimba!. Semua warga negara tidak bisa bertindak semau gue dalam menyelesaikan masalah. Dengan alasan apapun, tidak boleh ada milisi sipil. Tidak boleh ada anarkisme. Negeri ini akan kacau-balau. Ingat, Negeri ini negeri beradab, bukan negeri biadab. Negara harus menunjukkan taringnya. Negara tidak boleh kalah dengan kekuatan kelompok manapun, termasuk Islam radikal. Titik segede kelapa!.

Dalam kasus ini, pemerintah SBY juga harus tegas. Jangan bersikap letoy dan banci!. Pelaku kekerasan Monas harus diproses secara hukum. Ahmadiyah pun demikian, walaupun Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri telah kelar, bukan berarti pemerintah lantas lepas tangan. Disatu sisi, pemerintah harus tegas melarang ajaran ahmadiyah. Namun, disisi lain, pemerintah juga harus menjamin hak keselamatan hidup warga negaranya, tanpa pandang bulu, termasuk Ahmadiyah. Inilah demokrasi!.

Oh, ya Friend, tiga hari yang lalu, aku hampir saja berupaya menarik benang merah sebagai sebuah konklusi minor. Yang aku yakini, Indonesia bukanlah negeri demokrasi. Sebenarnya, kita belum siap untuk menjadi negara yang demokratis. Kita belum siap menyikapi sebuah perbedaan. Sikap primitif berkebangsaaan kita masih mendominasi segalanya. Sikap demokrasi Indonesia hanya bisa ditampilkan dalam ajang pilkada, pemilu dan pilpres saja. Menjadikan demokrasi sebagai sebuah sikap hidup bangsa yang dialogis, toleran dan menghormati HAM, Indonesia masih nol. Bagiku, hakikat demokrasi untuk bangsa ini memang telah mati.

Namun, kita harus ingat dan percaya diri, walaupun Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia bukanlah negara teokrasi. Ia terlalu plural untuk dijadikan sebagai negara agama. Siapa bilang Islam dan demokrasi bertentangan?!. Siapa bilang Islam dan Pancasila tak bisa hidup berdampingan?!. Itu hanyalah hipotase dan magnumopuse tak berkualitas dari seorang Samuel P. Huntington dan F. Fukuyama. Aku sangat yakin demokrasi berbanding lurus dengan spirit Islam. Sekali lagi, aku benar-benar yakin. Karenanya, jangan biarkan Indonesia hidup tanpa demokrasi. Karena ia akan mati. Jangan biarkan indonesiaku mati!. So, jangan biarkan demokrasi mati!. Hidup demokrasi!. Hidup Islam!. Setuju?!
4 Responses
  1. alFath Says:

    kirain paan, gini doang... :p
    hehehe boleh lah boleh... klo ada waktu maen ke kaskus.us, ada forum yang macem2 tuh, lumayan buat cari informasi


  2. Unknown Says:

    ana malah melihat lain. sumber kerusihan insiden monas dan SEMUA KEKACAUAN DI INDONESIA sebenarnya adalah demokrasi. argumennya:

    1. seperti yang telah lumrah, terjadi perselingkuhan politik antara pemerinah dan media. bila ada sebuah wacana pemerintah yang sedang hangat di tentang, pasti selalu ada headline kedua yang lebih heboh, contohnya: masih inget ga kasus poligami aagym yang sengaja dipolitisir menjadi cover berakhirnya limit waktu pertanggung jawaban pemerintah atas kasus lumpur lapindo (dan beberapa kasus lagi yang ana lupa) termasuk kasus tragedi monas yang menjadi cover naiknya BBM agar mengalihkan opini dan perhatian publik.

    2. kasus monas adalah rekasyasa negara yang berkepentingan ingin
    menaikkan harga BBM. siapa lagi kalau bukan amerika. argumen : lihat arsip berita eramuslim dan arrahmah media tentang kasus monas. disana terdapat pernyataan KLI, siapa itu AKKBB, pengakuan partisipan AKKB yang dibayar oleh oknum tertentu bila ia ikut demo, dan foto penodongan senjata api terhadap personil FPI. ana bukan pendukung FPI, tapi harus ada klarifikasi untuk itu semua. jangan melihat perkara hanya sebelah pihak. oke!!

    3. ente bener, demokrasi sudah mati. terjadi perselingkuhan besar-besaran di negara ini antara kepentingan pribadi, politik, dan uang. nah, kenapa ngga di hapus aja demokrasinya? apapun embel-embelnya, arti pokok demokrasi kan dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. tul ga? nah...kalau sudah begitu, seandainya bangsa indonesia gay semua, atau lesbi semua, pati mereka akan melegalkan hal hal seperti itu. mau ? anamah ogah.. walaupun diembel embeli demokrasi pancasila, demokrasi bla bla bla...tetep saja semua itu bukan UUD yang mengatur. tapi negara asing yang berkepentingan mengobok-obok negara kita. negara asing yang mengobok-obok UUD.negara asing yang ngobok obok pancasila. eh, orang indonesia malah bangga negaranya menggunakan asas demokrasi. mau? kalo anamah ogah.. intinya DEMOKRASI telah dan seharusnya MATI!!

    3.ada lagi, ahmadiyah lambat ditindak lanjut karena -salah satunya- melekatnya dalam opini publik bahwa negara kita berasas demokrasi. akhirnya lahir kesimpulan bahwa itu hak mereka untuk menganut agama mereka. benar? secara sepintas itu terlihat benar, tapi bila dibiarkan dan terjadi pada setiap agama di indonesia, maka akan terjadi kekacauan. karena berkembangnya opini publik tentang "kan negara demokrasi, jadi terserah dong"
    akhirnya, mungkin saja seperti apa yang ane bilang tadi " kan negara demokrasi, jadi mau gay ke' mau lesbi ke' mau apa ke' terserah dong" kalau ada sanggahan, kan ada hukum dan UUD!! jawabannya: sialahkan liat realita, sejauh apa UUD dan hukum dapat membendung arus DEMOKRASI?? hukum di indonesia seakan berjalan di tempat. pengedar ditahan tetapi penjara menjadi bandar baru bagi mereka. pelacur di tangkapi, tetapi kok pelacur makin banyak? hayo salah siapa ? DEMOKRASI..
    kalu rakyat indonesia mengatakan "ngga segitu-gitu banget lah..kan negara kita masih bermoral" ana jawab, itu ngga bakana lama karena kita menyimpan bom waktu bernama DEMOKRASI..contoh: (ana ngga ngambil contoh kasus kekacauan hanya dari faktor agama, tetapi dari semua aspek, oke!! ) arus vidio porno di indonesia yang tidak terbendung. alasan meraka, " terserah kita dong, mau bugil didepan kamera ke' mau sex bebas ke..terserah. kan demokrasi". mungkin ada peraturan pemerintah ttg pemblokiran situs porno, tetapi ana lihat kegagalan masih ada di sana. para "penda'wah" situs porno ngumpet ke blog-blog,parahnya, ada juga yang malah cari donatur supaya situsnya tidak di blokir. LIHAT!! HUKUM berasaskan DEMOKRASI yang GAGAL dan KALAH berhadapan dengan UANG!!itu dilihat dari menyebarnya porno grafi dan aksi, belum lagi penggeseran pola pikir kaula muda menjadi kebarat2an. 10 atau 20 tahun lagi, masih bisakah indonesia disebut negara beradab? tanya kenapa??

    okey..intinya: DEMOKRASI SUDAH MATI KARENA BUNUH DIRI!!!!


  3. Anonymous Says:

    Bangsat Loh... Lo anak buahnya JIL yach...? Anak buahnya ULIL ngocol...? Tulisan Lho nggak berkualitas abiz... Jangan memfitnah FPI dan KLI. Seharusnya Lho mengecam AKKBB. Lho Islam pa bukan ci...? (Ansharullah, crew FPI)


  4. Anonymous Says:

    Maaf. Saya mungkin tidak kenal Anda.
    Gini Mas, saya kira, saya tidak sejalan dengan pendapat Anda.
    Pada artikel ini, dengan sangat emosional, Anda berteriak hendak membubarkan FPI. Yang saya bingung, darimana Anda dapat memberi sebuah kesimpulan demikian, apakah hanya karena tindakan anarki mereka??? Saya kira, kita semua, sebagai umat Islam harus lebih bijak dalam melihat segala permasalahan yang ada. Thanks (Ahmad Lazuardi, Lombok, NTB)