Selalu saja ada hal menarik jika kita membicarakan masa depan politik Indonesia. Ketertarikan ini akan semakin "wah" jika kita mencoba untuk mengkorelasikan politik dengan Islam. Karena, dalam terma politik, Islam bisa menjadi "bunglon". Paling tidak Islam kemudian berubah fungsi dan beranak pinak menjadi dualisme kontradiktif. Islam sebagai agama dan Islam sebagai kendaraan kepentingan politik.
Di Indonesia diskursus Islam politik memang sangat fluktuatif sepanjang sejarah. Namun, penulis memprediksi jika diskursus ini akan terus mencuat seiring semakin dekatnya pemilu 2009.
Sejarah mencatat ketika Islam dijadikan sebagai kendaraan politik yang multi-kepentingan. Maka politisi Islam kemudian mampu melahirkan PPP, PKS, PSI, PBR, PBB dan partai Islam lainnya. Menggeliatnya partai-partai Islam di Indonesia memang sebuah keniscayaan.
Bagaimana tidak. Arsitek partai Islam dengan jeli melihat potensi konstituen muslim yang mendominasi rakyat Indonesia. Sehingga mereka beranggapan bahwa partai Islam adalah partai yang trendy, relevan, dan layak jual. Dan tanpa rasa malu-malu dengan dalih agama untuk selalu memprioritaskan maslahat rakyat.
Kemudian founding father partai Islam ini pula berteriak bahwa penegakkan (formalisasi) syariat Islam adalah sebuah keharusan. Isu amandemen Pancasila dan UUD 45 agar kembali ke khittah piagam Jakarta pun terus didengungkan.
Intinya di saat yang bersamaan simbol-simbol Islam mengalami eksploitasi politik. Maka bukan rahasia lagi jika kemudian mereka menggandeng figur-figur fundamentalisme radikalisme Islam seperti Abu Bakar Ba'asyir dan Habib Rizieq Syihab yang dikenal aktif mengusung relokasi ideologi dan landasan ideal Indonesia sebagai mitra politik grassroot. Tampaknya penelitian yang dilakukan Olivier Roy dalam bukunya L'ichec de I'slam Politique (1992) tentang multi kegagalan Islam politik tidak terlalu berpengaruh bagi para politisi muslim kita.
Penulis sedang tidak berhasrat untuk membahas secara eksplisit kesalahan interaksi sosial-politik partai Islam yang mengusung formalisasi syariat Islam. Penulis hanya ingin sedikit mengkritisi wacana dan upaya politisi Islam dan kaum fundamentalis feodalisme teks keagamaan untuk mengubah ideologi negara dari Pancasila ke syariat Islam.
Hal ini penting dikemukakan. Penulis tidak tega. Sungguh tidak tega jika Islam sebagai agama rahmatan lil'alamiin dikebiri dan dikotak-kotakkan menjadi sebuah agama yang punya label dan formalitas politik. Dalam artian jika Islam dijadikan sebagai ideologi negara maka yang terjadi kemudian adalah sebuah proses fragmentasi agama.
Seburuk apa pun sikap dan kebijakan pemerintah jika syariat Islam diformalisasikan akan selalu menjadi legitimasi dan justifikasi politik penguasa. Dalam tataran ekonomi kenaikan BBM dan sembako akan menjadi hal yang dianggap lumrah dan harus diterima masyarakat sebagai kebijakan negara Islam.
Dalam tataran pendidikan gerakan pemikiran yang berlawanan dengan mainstream dan madzhab negara akan dengan mudah dipatahkan dengan dalih agama. Sehingga sikap kepala negara acap kali diterjemahkan sebagai keputusan dan otoritas Tuhan. Inilah yang sedang terjadi di negara Afghanistan Thaliban dan Sudan yang mengklaim sebagai representatif negara Islam berasaskan syariat. Stereotip ini muncul karena ideologi negara adalah image sebuah bangsa.
Penulis sedang tidak menolak apalagi "alergi" terhadap syariat Islam sebagai landasan ideal kaum muslimin. Penulis hanya menolak upaya untuk menjadikan syariat Islam sebagai sebuah "hukum jadi" tanpa filtrasi konteks kebangsaan yang majemuk seperti Indonesia.
Hal ini perlu diperhatikan mengingat Al Quran dan as-Sunnah sendiri sangat multi-interpretatif untuk dijadikan sebagai sumber ideologi bangsa yang sarat nuansa politik. Di samping itu formalisasi syariat Islam juga akan dimanfaatkan menjadi "palu godam" penguasa bagi rival politik mereka. Walhasil, image Islam akan menjadi "babak-belur".
Seharusnya kita membentangkan Islam sebagai sebuah tata nilai universal yang moderat dan rahmatan lil'alamin serta terbebas dari keterkungkungan ranah partai politik mana pun. Dalam artian formalisasi syariat akan lebih tepat jika diganti dengan transformasi syariat.
Transformasi syariat yang dimaksud penulis adalah upaya untuk menerjemahkan hukum-hukum Islam ke dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan lalu mengartikulasikannya ke dalam hukum positif negara. Pada posisi ini Indonesia tidak perlu berubah menjadi negara teokrasi.
Dengan demikian negara menganggap sah-sah saja jika seorang muslim menjalankan amanah syariah sebagai hukum private kaum muslim. Bahkan, negara wajib memfasilitasi dan mengayomi agar umat muslim dan umat beragama lainnya dapat menjalankan perintah agamanya masing-masing. Menurut penulis transformasi syariat perlu disuarakan agar kita tidak terjebak pada dilema Arabisasi yang "karatan".
Diskursus transformasi syariah memang pernah disinggung oleh politisi PBB Yusril Ihza Mahendra. Namun, spirit epistemologi syariah transformatif sebenarnya lebih dulu diteriakkan oleh Mustafa Kemal Ataturk dalam pidato fenomenalnya di parade ANZAC Canberra. Lebih lanjut ia membahasnya secara ilmiah dalam Vatan ve Hurriyet.
Dalam transformasi syariah syariat Islam tidak diposisikan sebagai ideologi atau dasar negara. Tapi, syariat Islam diinterpretasikan sebagai kaidah-kaidah atau sumber hukum alternatif bagi sebuah negara. Hal ini perlu diperhatikan mengingat hukum Islam itu sendiri memiliki berbagai macam variabel: Privat dan publik. Sehingga pada akhirnya melalui adagium syariah transformatif demi mempertahankan
NKRI, "Republik Indonesia" tidak perlu diubah menjadi "Republik Islam Indonesia".
Dialektika Islam politik seperti dikatakan Muhammad Imarah dalam karyanya al-Islam wa as-Siyasah (2002), harus terus difikirkan umat Islam sepanjang generasi. Jujur,
coretan singkat ini lahir dari relung hati yang paling dalam sebagai sebuah sikap keprihatinan penulis belakangan ini.
Penulis melihat ada semacam geliat trend dan "hobi" berpolitik praktis melalui partai tertentu –-terutama partai-partai Islam, di tengah komunitas pelajar dan mahasiswa yang plural. Namun, sayangnya kecenderungan ini seringkali tidak berbanding lurus dengan pemahaman universal yang lebih substansial.
Walhasil bukan tidak mungkin sebuah partai kemudian menjelma jadi neo-madzhab keagamaan yang penuh ke-'aku'-an. Lebih akut lagi bagi mereka Islam dan politik sering kali diterjemahkan sebagai dua mata uang logam: berjalan seiring sepenanggungan. Padahal, sungguh tidak demikian.
Di Indonesia diskursus Islam politik memang sangat fluktuatif sepanjang sejarah. Namun, penulis memprediksi jika diskursus ini akan terus mencuat seiring semakin dekatnya pemilu 2009.
Sejarah mencatat ketika Islam dijadikan sebagai kendaraan politik yang multi-kepentingan. Maka politisi Islam kemudian mampu melahirkan PPP, PKS, PSI, PBR, PBB dan partai Islam lainnya. Menggeliatnya partai-partai Islam di Indonesia memang sebuah keniscayaan.
Bagaimana tidak. Arsitek partai Islam dengan jeli melihat potensi konstituen muslim yang mendominasi rakyat Indonesia. Sehingga mereka beranggapan bahwa partai Islam adalah partai yang trendy, relevan, dan layak jual. Dan tanpa rasa malu-malu dengan dalih agama untuk selalu memprioritaskan maslahat rakyat.
Kemudian founding father partai Islam ini pula berteriak bahwa penegakkan (formalisasi) syariat Islam adalah sebuah keharusan. Isu amandemen Pancasila dan UUD 45 agar kembali ke khittah piagam Jakarta pun terus didengungkan.
Intinya di saat yang bersamaan simbol-simbol Islam mengalami eksploitasi politik. Maka bukan rahasia lagi jika kemudian mereka menggandeng figur-figur fundamentalisme radikalisme Islam seperti Abu Bakar Ba'asyir dan Habib Rizieq Syihab yang dikenal aktif mengusung relokasi ideologi dan landasan ideal Indonesia sebagai mitra politik grassroot. Tampaknya penelitian yang dilakukan Olivier Roy dalam bukunya L'ichec de I'slam Politique (1992) tentang multi kegagalan Islam politik tidak terlalu berpengaruh bagi para politisi muslim kita.
Penulis sedang tidak berhasrat untuk membahas secara eksplisit kesalahan interaksi sosial-politik partai Islam yang mengusung formalisasi syariat Islam. Penulis hanya ingin sedikit mengkritisi wacana dan upaya politisi Islam dan kaum fundamentalis feodalisme teks keagamaan untuk mengubah ideologi negara dari Pancasila ke syariat Islam.
Hal ini penting dikemukakan. Penulis tidak tega. Sungguh tidak tega jika Islam sebagai agama rahmatan lil'alamiin dikebiri dan dikotak-kotakkan menjadi sebuah agama yang punya label dan formalitas politik. Dalam artian jika Islam dijadikan sebagai ideologi negara maka yang terjadi kemudian adalah sebuah proses fragmentasi agama.
Seburuk apa pun sikap dan kebijakan pemerintah jika syariat Islam diformalisasikan akan selalu menjadi legitimasi dan justifikasi politik penguasa. Dalam tataran ekonomi kenaikan BBM dan sembako akan menjadi hal yang dianggap lumrah dan harus diterima masyarakat sebagai kebijakan negara Islam.
Dalam tataran pendidikan gerakan pemikiran yang berlawanan dengan mainstream dan madzhab negara akan dengan mudah dipatahkan dengan dalih agama. Sehingga sikap kepala negara acap kali diterjemahkan sebagai keputusan dan otoritas Tuhan. Inilah yang sedang terjadi di negara Afghanistan Thaliban dan Sudan yang mengklaim sebagai representatif negara Islam berasaskan syariat. Stereotip ini muncul karena ideologi negara adalah image sebuah bangsa.
Penulis sedang tidak menolak apalagi "alergi" terhadap syariat Islam sebagai landasan ideal kaum muslimin. Penulis hanya menolak upaya untuk menjadikan syariat Islam sebagai sebuah "hukum jadi" tanpa filtrasi konteks kebangsaan yang majemuk seperti Indonesia.
Hal ini perlu diperhatikan mengingat Al Quran dan as-Sunnah sendiri sangat multi-interpretatif untuk dijadikan sebagai sumber ideologi bangsa yang sarat nuansa politik. Di samping itu formalisasi syariat Islam juga akan dimanfaatkan menjadi "palu godam" penguasa bagi rival politik mereka. Walhasil, image Islam akan menjadi "babak-belur".
Seharusnya kita membentangkan Islam sebagai sebuah tata nilai universal yang moderat dan rahmatan lil'alamin serta terbebas dari keterkungkungan ranah partai politik mana pun. Dalam artian formalisasi syariat akan lebih tepat jika diganti dengan transformasi syariat.
Transformasi syariat yang dimaksud penulis adalah upaya untuk menerjemahkan hukum-hukum Islam ke dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan lalu mengartikulasikannya ke dalam hukum positif negara. Pada posisi ini Indonesia tidak perlu berubah menjadi negara teokrasi.
Dengan demikian negara menganggap sah-sah saja jika seorang muslim menjalankan amanah syariah sebagai hukum private kaum muslim. Bahkan, negara wajib memfasilitasi dan mengayomi agar umat muslim dan umat beragama lainnya dapat menjalankan perintah agamanya masing-masing. Menurut penulis transformasi syariat perlu disuarakan agar kita tidak terjebak pada dilema Arabisasi yang "karatan".
Diskursus transformasi syariah memang pernah disinggung oleh politisi PBB Yusril Ihza Mahendra. Namun, spirit epistemologi syariah transformatif sebenarnya lebih dulu diteriakkan oleh Mustafa Kemal Ataturk dalam pidato fenomenalnya di parade ANZAC Canberra. Lebih lanjut ia membahasnya secara ilmiah dalam Vatan ve Hurriyet.
Dalam transformasi syariah syariat Islam tidak diposisikan sebagai ideologi atau dasar negara. Tapi, syariat Islam diinterpretasikan sebagai kaidah-kaidah atau sumber hukum alternatif bagi sebuah negara. Hal ini perlu diperhatikan mengingat hukum Islam itu sendiri memiliki berbagai macam variabel: Privat dan publik. Sehingga pada akhirnya melalui adagium syariah transformatif demi mempertahankan
NKRI, "Republik Indonesia" tidak perlu diubah menjadi "Republik Islam Indonesia".
Dialektika Islam politik seperti dikatakan Muhammad Imarah dalam karyanya al-Islam wa as-Siyasah (2002), harus terus difikirkan umat Islam sepanjang generasi. Jujur,
coretan singkat ini lahir dari relung hati yang paling dalam sebagai sebuah sikap keprihatinan penulis belakangan ini.
Penulis melihat ada semacam geliat trend dan "hobi" berpolitik praktis melalui partai tertentu –-terutama partai-partai Islam, di tengah komunitas pelajar dan mahasiswa yang plural. Namun, sayangnya kecenderungan ini seringkali tidak berbanding lurus dengan pemahaman universal yang lebih substansial.
Walhasil bukan tidak mungkin sebuah partai kemudian menjelma jadi neo-madzhab keagamaan yang penuh ke-'aku'-an. Lebih akut lagi bagi mereka Islam dan politik sering kali diterjemahkan sebagai dua mata uang logam: berjalan seiring sepenanggungan. Padahal, sungguh tidak demikian.